"Kenapa bisa buang-buang waktu?" Aku penasaran dengan alasannya.
"Ya, harusnya aku bisa bersama dengan yang lain, tapi mereka membuatku melewatkan yang terbaik." Suaranya terdengar sangat dalam.
"Memang yang terlewatkan itu, gak bisa kamu dapatkan lagi?"Â
"Ya gimana, dulu aku selalu berpikiran paling gak targetku harus seperti mereka, tapi aku salah."
Kuteguk kopiku perlahan, mencoba memahami apa maksud dari omongannya tersebut. "Ya, kalau kamu sendiri menilai itu salah, berarti paling gak kan kamu sudah belajar dari pengalaman-pengalaman itu, dan itu yang udah buat kamu seperti ini sekarang."
"Iya memang, aku belajar dari hal-hal tersebut, tapi coba kamu pikirkan, mereka yang mutusin, kenapa mereka juga yang harus menjauh, padahal aku biasa aja ke mereka sekarang, kan harusnya aku yang kesal." Dia melanjutkan ceritanya.
"Ya, kamu kan juga gak bisa ngatur orang lain buat deket sama kamu atau gak, kalau aku sih, ya terserah orang aja, mau deket sama aku monggo, gak juga monggo."
"Ya memang sih, tapi itu bikin aku kepikiran terus." kulihat dia semakin murung.
"Aku gak tahu ya, kenapa kamu sibuk mikirin hal seperti itu, memang efeknya mereka ada atau gak di hidupmu sebesar apa sih?"
"Ya gak ada, tapi itu bikin aku kepikiran terus, mungkin ada yang salah dari aku ya, dan itu berdampak pada self esteemku."Â Suaranya mulai terdengar semakin pelan.
Semakin dalam kuteguk kopiku, berharap agar aku tidak kalah dengan perasaanku, mendengar ucapannya tersebut. "Gini, kamu pernah bayangin gak, aku yang sering ditolak ini, mungkin bagi kamu atau yang lain biasa saja, namun hal itu juga pernah membuat self esteemku turun, dan membuatku memikirkan hal-hal yang kamu ucapin barusan, tapi aku ingat, daripada memikirkan mereka yang jelas-jelas tidak memikirkanku, lebih baik aku fokus pada diriku dan orang-orang yang masih mau menerimaku apa adanya. Aku fokus supaya bisa menjadi versi terbaik dari diriku."