Peristiwa 'Lumpur Lapindo' di Sidoarjo telah menghenyakan
masyarakat Indonesia. Peristiwa tersebut membuat menggenangi
areal persawahan, pemukiman penduduk, dan kawasan industri
menyebabkan wilayah Sidoarjo dibanjiri aliran lumpur.Â
Hal ini wajar
mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu
meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti
kemas berukuran besar).
Akibatnya, semburan lumpur ini membawa
dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi
6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari
8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit;
areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha;
lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi
dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana
pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi;
rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik
dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro
(Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur.1
Menurut penelitian,2
 kandungan lumpur tersebut berbahaya bagi
kesehatan makhluk hidup. Kandungan logam berat (Hg), misalnya,
mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002
mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan,
iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel
darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia),
dan gangguan ginjal.
Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga
"sengaja menghemat" biaya operasional dengan tidak memasang
casing (selubung bor). Jika dilihat dari perspektif ekonomi,
keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya
yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang
saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/
JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing
sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas.
Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing,
sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada
di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.3
Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo
telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil atau production
sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa
kedaulatan atas sumberdaya alam.4
 Kasus Lapindo ini paling tidak
merupakan tamparan besar bagai Indonesia, seberapa besar bagi
Indonesia.
Paska amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia sebenarnya, Indonesia sudah menganut prinsip
konstitusi yang berwawasan lingkungan atau yang oleh Jimly
Asshidiqie dipopulerkan dengan istilah "Green Constitution" atau
Konstitusi Hijau.5
 Untuk itu, tulisan ini akan mengupas bagaimana
penerapan peraturan organis dibawah konstitusi terhadap
pengaturan lingkungan di Indonesia.
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan:
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Menurut Jimly6
, walaupun tidak terlalu jelas menekankan
pembangunan berkelanjutan sebagai arah dan pola pembangunan,
namun pasal ini dapat ditafsirkan memberi arah pembangunan
ekonomi yang didasarkan pada konsep pembangunan yang
berkelanjutan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi kelestarian
lingkungan hidup yang kini memprihatinkan, dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia sebagai the supreme law of the land
telah membuat gagasan dasar mengenai kedaulatan lingkungan.
Dari pemaparan latar belakang di atas maka penulis mengajukan
pokok permasalahan sebagai berikut: pertama, bagaimana peran
dan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan
terhadap korban lumpur Lapindo di Sidoardjo; kedua, Apakah perundang-undangan yang ada sudah berorientasi pada kepentingan
lingkungan dan masyarakat khususya terhadap perlindungan hak
konstitusional korban bencana lumpur Lapindo?
Membahas konstitusi suatu negara, umumnya sama saja kita
membahas dan mengkaji Undang-Undang Dasar suatu negara
tersebut. Penggunaan istilah konstitusi dan Undang-Undang
Dasar (UUD) sering dipergunakan dalam arti yang sama. Pada
umumnya konstitusi diartikan lebih luas daripada Undang-Undang
Dasar, karena konstitusi mencakup yang tertulis dan tak tertulis,
namun tidak sedikit ahli hukum yang menyamakan kedua istilah
tersebut.
7
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar sangat erat kaitannya
dengan teori kedaulatan rakyat dan sistem negara hukum8
. Selain
itu Konstitusi merupakan norma dasar dalam pembentukan berbagai
peraturan perundang-undangan. Negara yang menggunakan
konstitusi sebagai norma hukum yang tertinggi di samping norma
hukum yang lain tepatlah dikatakan bahwa negara itu sedang
menjalankan teori kedaulatan rakyat dan berpegang pada sistem
negara hukum.Â
Struycken9
 berpendapat bahwa Konstitusi atau
Undang-Undang Dasar merupakan dokumen formal yang berisi:
(i) hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau; (ii)
tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; (iii)
pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik
untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
(iv) suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan
ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Konstitusi tertulis yang pertama kali adalah konstitusi Amerika
Serikat, yang berupa dokumen yang ringkas, terbatas, dan sederhana
(brevity, restraint and simplicity).10 "Every Constitution will reflect the
ideas and ideals of the people who framed it."11 Setiap konstitusi itu
mencerminkan gagasan dan tujuan pemikiran dari para pembuatnya.
Demikian Pylee menggambarkan kandungan sebuah konstitusi.
Dengan adanya konstitusi yang merupakan hasil kesepakatan
bersama yang menjadi rujukan bersama dalam proses kehidupan
berbangsa dan bernegara yang dipimpin oleh hukum dan Konstitusi.
Sehingga Konstitusi tersebut berfungsi membatasi kekuasaan,
mengukur keabsahan undang-undang dan produk pemerintahan
lain, yang akan mengendalikan proses perkembangan kehidupan
bernegara, serta secara tegas menggariskan pembatasan tentang apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan penyelenggara kekuasaan
negara.
12
Berbicara mengenai konsep Green Constitution dalam Pasal 33
ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka pasal ini merupakan pembatasan tentang apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan Negara dalam penyelenggaraan
kekuasaan Negara di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham
Negara Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para perintis
kemerdekaan dan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia
bahwa negara demokratis yang akan didirikan adalah "Negara
Kesejahteraan" bukan "Negara Penjaga Malam" (Night Wachtman
State), adapun istilah yang digunakan oleh Bung Hatta adalah
"Negara Pengurus".13 Prinsip Welfare State tersebut juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan
aspek perlindungan terhadap warga Negara khususnya dalam hal
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Gagasan tentang perlindungan sosial dalam Negara kesejahteraan
yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu alasan paling penting
bagi kelahiran sebuah negara. Tujuan utama pendirian negara ini
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik,
lebih manusiawi dan bermartabat. Maka penciptaan kesejahteraan
sosial yang didalamnya juga terdapat perlindungan bagi warga
negara untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat yang
merupakan alasan paling mendasar bagi kelahiran bangsa ini.Â
Itulah
sebabnya, gagasan kesejahteraan sosial tersebut sudah disebut
pada bagian pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Terkait dengan penanggulangan bencana
dan lingkungan yang sehat, sesuai dengan alinea ke IV Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
Maka negara bertanggung jawab untuk
membuat suatu sistem perlindungan sosial bagi warga negaranya
karena letak geografis, geologis, hidrologis dan demografis Indonesia
yang sangat rentan terhadap bencana, baik yang disebabkan oleh
faktor alam, faktor non alam maupun karena faktor manusia yang
menyebabkan kerusakan lingkungan. Perlindungan tersebut adalah
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana
tujuan dari "Negara kesejahteraan" itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H