Dulu aku selalu heran kepada orang yang menyukai Rembulan.
Mengapa mereka tak memilih Bintang saja? Yang mana banyak sekali titik cahayanya.
Namun, rasa heranku itu terpatahkan begitu saja oleh diriku sendiri.
Tak lagi heran dan bertanya dalam diam.
Aku dulu sangat menyukai gemerlap Bintang-bintang pada bentangan langit malam.
Dan, tak ada kata bosan untuk memandang.
Namun, kini Bintang-bintang terasa... biasa saja.
Tergantikan oleh pendar rembulan yang menemani heningnya malamku.
Pendarnya lembut dan seolah merangkul siapa saja yang bercerita dalam diamnya.
Seakan ia dikirim Sang Penguasa tuk menghangati jiwa-jiwa yang dingin
Melewati rembulan, aku berucap Syukur Pada-Nya
Melalui malam-malam yang tak pernah aku bayangkan akan terjadi.
Dalam diamku, aku bergumam
Tuhan, jiwa-jiwa yang mulanya hangat
Kini terasa dingin, bahkan hampir membeku.
Mungkin, karena rasanya begitu sakit. Sehingga..
Ia memilih untuk mematikannya dengan membiarkan rasa itu menjalar
Perlahan-lahan, menusuk dan menikam kalbunya.
Rasa sepi yang dulu asing baginya
Kini malah berteman baik dengannnya.
Tuhan, kapan penderitaan ini akan berakhir?
Tanyaku dengan mata penuh harap menatap indahnya Sang Ciptaan
Tuhan, mengapa Engkau sangat yakin padaku
Sedang aku meragukan diriku sendiri?
Tuhan, kapan Engkau menunaikan janji-Mu
Kepada Para Penyabar itu?
Tiga pertanyaan besar itu, selalu berdenging di kepala
Dan hebatnya, Tuhan selalu menjawabnya dengan peristiwa-peristiwa hebat-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H