Mohon tunggu...
Rahwiku Mahanani
Rahwiku Mahanani Mohon Tunggu... Penulis - Alien

suka BTS dan bikin prakarya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perihal Pernikahan dan Sulitnya Menjadi Diri Sendiri

12 Januari 2020   21:23 Diperbarui: 13 Januari 2020   15:23 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan. (sumber: ferlistockphoto via kompas.com)

Setiap orang memiliki pilihan, tapi tidak semua orang mampu memilih pilihan yang benar-benar diinginkan. Sekilas memilih mungkin terdengar mudah. Menentukan pilihan barangkali memang tidak sesulit itu, hanya saja menjalani berbagai konsekuensi atas pilihan yang telah kita pilih itu tidak selalu mudah.

Saya seorang perempuan yang tahun ini akan menginjak usia dua puluh lima. Menikah dan perihal pernikahan sudah bukan lagi menjadi topik yang asing di lingkungan saya. Setiap orang yang berencana menikah di masa depan, kemungkinan memiliki gambaran ideal atau cita-cita masing-masing atas konsep hari bahagianya tersebut.

Ada yang menginginkan sebuah pesta mewah dengan nuansa modern, ada yang ingin menggunakan adat tradisional, ada yang ingin sederhana, ada yang ingin acaranya digelar sekian jam, sekian hari, bahkan beberapa hari, ada yang ingin menghadirkan grup musik yang disukai, ada yang ingin menghadirkan hiburan musik dangdut, ada yang memasak sendiri, ada yang menggunakan jasa catering, ada yang memakai wedding organizer,  dan tentu saja ada yang tidak ingin pesta.

Dari semua kemeriahan, saya yakin ada banyak insan yang menginginkan sebuah acara yang sederhana untuk akad nikahnya. Tidak ada pesta dan barangkali pula tidak ada undangan.

Dari sekian banyak bayangan ideal individu, saya tentu juga memiliki gambaran tersendiri. Kalau harus jujur, beberapa konsep pernikahan ada yang tidak masuk akal bagi saya. Namun, itu tidak masalah.

Tidak masuk akal bagi diri saya, belum tentu tidak masuk akal juga bagi orang lain. Sebaliknya, yang masuk akal bagi saya, bisa jadi tidak demikian bagi orang lain. 

Perbedaan itu wajar dan tidak apa-apa. Namun, tentu saja akan menjadi "kenapa-kenapa" kalau perbedaan tersebut dijadikan masalah. Sayangnya, mempersoalkan apa-apa yang tidak sesuai opini pribadi menjadi begitu penting di masyarakat kita kini.

Perbedaan seolah menjadi hal yang tabu. Standar masyarakat yang biasanya terwariskan secara turun-temurun pun menjadi momok bagi sebagian orang yang sebenarnya mungkin hanya ingin menjadi diri sendiri.

Proses Panjang Manusia

Sejak lahir hingga dewasa, proses yang dilewati setiap manusia pasti berbeda-beda. Latar belakang dan perjalanan hidup yang dilalui akan membentuk hal-hal seperti pemikiran, karakter, orientasi hidup, cita-cita dan keinginan tiap-tiap individu menjadi unik dan sangat personal.

Bagi saya pribadi, pernikahan adalah sebagian kecil dari perkara-perkara lain dalam hidup yang sebenarnya tidak perlu terlalu dipusingkan. Menikah ya menikah saja, entah ingin berpesta atau merasa cukup di KUA. Kembali lagi, tidak semua orang memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama.

Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dan lingkungan yang sama, belum tentu A sampai Z-nya sama, apalagi yang jelas-jelas latar belakangnya berbeda. Kenapa? Karena itulah istimewanya manusia.

Jadi, bagaimana kita bisa menginginkan hal yang sama jika seumur hidup perjalanan yang dilalui saja berbeda? Perbedaan adalah konsekuensi logis. Mungkin memang ada benarnya ungkapan yang memvonis bahwa sebenarnya hidup itu sederhana, manusianya saja yang rumit.

Mempelai dan Hati yang Harus Dijaga

Perihal pernikahan, standar sosial masyarakat tidak jarang membuat kita merasa terpojok.  Maka tidak heran kalau akhirnya banyak orang yang mengikuti arus, mengambil pilihan-pilhan "aman" yang sesuai dengan standar masyarakat. 

Ya, meski dengan mengikuti patokan "kelayakan" tersebut, tidak otomatis menjamin aman dari komentar yang "ada-ada saja". Namun, lagi-lagi, banyak orang merasa tidak punya pilihan.

Tidak punya pilihan kadang-kadang bermakna bahwa sebenarnya ada banyak pilihan. Namun, beberapa faktor terpaksa membuat kita menutup diri dari peluang-peluang lain.

"Enggak perlu dengerin omongan orang", sebenarnya ada benarnya. Akan tetapi itu sudah nasihat basi.

Ada yang bilang kalau di dalam sebuah pernikahan, yang menikah itu bukan cuma mempelainya, tapi keluarga besarnya juga. Ditilik dari budaya masyarakat Indonesia, bagi saya ungkapan tersebut bisa diterima. 

Konsep tersebut pulalah yang saya yakin menjadi salah satu alasan kuat bagi calon mempelai untuk mengkompromikan keinginan banyak orang perihal pernikahannya, yang tidak jarang menjurus pada konsep-konsep konvensional standar masyarakat. 

Sebab, ada hati yang ingin mereka jaga, bukan cuma miliknya, tapi juga keluarga besarnya. Meski tidak jarang harus menukar dengan hatinya sendiri yang dikorbankan.

Namun, rupanya itu saja belum cukup. Pada akhirnya, baik mengikuti konsep pernikahan sesuai standar masyarakat pada umumnya maupun tidak, entah itu di atas atau di bawah standar, mempelai di Indonesia masih harus berusaha keras untuk tutup telinga.

Sebisa mungkin tidak mendengarkan orang lain, karena selalu ada celah untuk orang lain melontarkan celaan.

Namun, tetap saja telinga kita bukan barang yang bisa diatur. Tidak bisa disuruh untuk tidak mendengarkan kritikan yang tidak membangun.

Kenyataannya tidak ada di dunia ini yang bisa kita atur-atur, sekalipun itu diri kita sendiri. Niatnya mungkin berusaha tidak menganggap komentar negatif orang yang menyakitkan. Namun, rupanya hati kita tetap saja terluka. 

Tidak jarang makin parah lukanya kalau hal tersebut juga menyakiti keluarga kita. Urusan omongan orang memang bisa bikin perkara panjang.

Pernikahan hanya menjadi salah satu representasi, betapa sulitnya menjadi diri sendiri di Indonesia. Iya, di tahun 2020 di Indonesia, menjadi diri sendiri (yang itu tidak menyakiti siapa pun) masih sedemikian beratnya. 

Mampu menentukan dan menjalani pilihan seperti keinginan tanpa merasa terbebani (dan tersakiti) benar-benar merupakan sebuah privilege. 

Lalu, mengapa pelan-pelan kita tidak berubah? Apakah berhenti mengurusi dan mengomentari urusan orang lain itu sebegitu sulitnya? Tidak bisakah kita membiarkan setiap orang bahagia dengan caranya masing-masing?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun