Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dan lingkungan yang sama, belum tentu A sampai Z-nya sama, apalagi yang jelas-jelas latar belakangnya berbeda. Kenapa? Karena itulah istimewanya manusia.
Jadi, bagaimana kita bisa menginginkan hal yang sama jika seumur hidup perjalanan yang dilalui saja berbeda? Perbedaan adalah konsekuensi logis. Mungkin memang ada benarnya ungkapan yang memvonis bahwa sebenarnya hidup itu sederhana, manusianya saja yang rumit.
Mempelai dan Hati yang Harus Dijaga
Perihal pernikahan, standar sosial masyarakat tidak jarang membuat kita merasa terpojok. Â Maka tidak heran kalau akhirnya banyak orang yang mengikuti arus, mengambil pilihan-pilhan "aman" yang sesuai dengan standar masyarakat.Â
Ya, meski dengan mengikuti patokan "kelayakan" tersebut, tidak otomatis menjamin aman dari komentar yang "ada-ada saja". Namun, lagi-lagi, banyak orang merasa tidak punya pilihan.
Tidak punya pilihan kadang-kadang bermakna bahwa sebenarnya ada banyak pilihan. Namun, beberapa faktor terpaksa membuat kita menutup diri dari peluang-peluang lain.
"Enggak perlu dengerin omongan orang", sebenarnya ada benarnya. Akan tetapi itu sudah nasihat basi.
Ada yang bilang kalau di dalam sebuah pernikahan, yang menikah itu bukan cuma mempelainya, tapi keluarga besarnya juga. Ditilik dari budaya masyarakat Indonesia, bagi saya ungkapan tersebut bisa diterima.Â
Konsep tersebut pulalah yang saya yakin menjadi salah satu alasan kuat bagi calon mempelai untuk mengkompromikan keinginan banyak orang perihal pernikahannya, yang tidak jarang menjurus pada konsep-konsep konvensional standar masyarakat.Â
Sebab, ada hati yang ingin mereka jaga, bukan cuma miliknya, tapi juga keluarga besarnya. Meski tidak jarang harus menukar dengan hatinya sendiri yang dikorbankan.
Namun, rupanya itu saja belum cukup. Pada akhirnya, baik mengikuti konsep pernikahan sesuai standar masyarakat pada umumnya maupun tidak, entah itu di atas atau di bawah standar, mempelai di Indonesia masih harus berusaha keras untuk tutup telinga.