Mohon tunggu...
Rahsya NigitamaMuhammad
Rahsya NigitamaMuhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Tertarik dengan isu gender, politik, dan pertentangan ideologi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reproduksi Sosial dan Kekerasan Domestik: Analisis Ekonomi Politik terhadap Budaya Kekerasan dalam Rumah Tangga

29 Desember 2023   14:00 Diperbarui: 29 Desember 2023   14:06 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Terdapat sebuah gagasan yang mengendap jika kita memikirkan kata "keluarga"---terlepas bahwa hal itu memang benar atau tidak. Apa yang dimaksud keluarga seringkali terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak-anaknya. Kemudian, apa peran-peran mereka dalam masyarakat? Seorang ayah seringkali dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Ayah merupakan seseorang yang pergi ke kantor, pabrik, atau tempat kerja mereka. Di sana mereka bekerja dan seusainya, pulang malam dan memakan makanan yang dihidangkan oleh sang istri. Dengan adanya pikiran bahwa sang suami sudah bekerja dari pagi sampai malam, peran dia di rumah hanyalah untuk mempersiapkan diri kembali pada hari esok, yaitu dengan makan dan tidur. Bagaimana dengan sang istri? Dia merupakan seorang yang harus menghadapi kerja-kerja domestik, seperti mencuci piring, memasak, menyiapkan bekal untuk suami dan anak-anaknya, membersihkan rumah, dan sebagainya---terlepas dari dia seorang pekerja di luar rumah pula atau bukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat domestik ini cenderung dibebankan kepada istri atau perempuan di dalam rumah. Perempuan di dalam rumah adalah seorang homemaker atau ibu rumah tangga. Muncul beberapa pertanyaan yang hadir dari persepsi keluarga seperti ini. Apakah pendefinisian "keluarga" yang seperti ini memang begitu adanya, atau justru merupakan hal yang dibentuk dengan adanya kebutuhan untuk beradaptasi seiring zaman? Apakah fenomena keluarga tradisional seperti ini hadir dari ruang hampa, atau justru merupakan sesuatu yang bergantung kepada faktor historis yang pada akhirnya membentuk pola keluarga seperti ini?  Apakah hal yang dilakukan oleh suami dan istri itu keduanya merupakan kerja? Jika iya, mengapa pekerjaan domestik yang dilakukan oleh istri seringkali tidak dibayar?

Jika pekerja pergi ke pabrik untuk memproduksi sebuah komoditas, lalu siapa yang memproduksi pekerja tersebut? Bagaimana pekerja tersebut dapat memperoleh sandang, pangan, dan papan yang dibutuhkan agar pekerja tersebut bisa pergi ke pabrik. Kerja-kerja yang hadir untuk mengkondisikan pekerja disebut sebagai kerja-kerja reproduksi. Kerja reproduksi ini erat hubungannya dengan keluarga, di mana dalam kapitalisme, pernikahan secara monogami dianggap sebagai pernikahan yang ideal dengan adanya pemisahan antara kerja-kerja produktif---yang dilakukan oleh suami---dan kerja-kerja reproduksi---yang dilakukan oleh istri.

Dalam rezim kapitalisme global ini, beragamnya kesenjangan ekonomi hadir di dalam berbagai rumah tangga. Berbagai rumah tangga tersebut mengalami dinamikanya masing-masing dalam keputusan pembagian kerja di dalam keluarga yang dideterminasi oleh situasi ekonomi serta faktor historis yang ada. Sebagai contoh, berdasarkan riset "Gender dan Reproduksi Sosial: Perspektif Historis" yang dituliskan oleh Barbara Laslett dan Johanna Brenner (1989), munculnya pembagian ranah privat dan ranah publik hadir dengan adanya kehadiran keluarga kelas menengah baru atau keluarga borjuis. Laslett dan Brenner (Ibid) juga menjelaskan bahwa laki-laki bukanlah lagi pengelola kerja yang dilakukan oleh keluarga, melainkan menjadi seorang tulang punggung yang mendapatkan penghasilan untuk menopang kehidupan keluarganya. Dengan ini, muncul juga pembagian mengenai siapa yang bekerja di ranah domestik atau ranah privat, dan yang bekerja di ranah publik. Sedangkan di kalangan rumah tangga kelas pekerja, masih terdapat adanya pembagian kedua ranah. Akan tetapi, ranah yang dilaksanakan oleh perempuan kelas pekerja tetap melakukan aktivitas---seperti bekerja di ranah publik untuk mempertahankan tantangan ekonomi keluarga (Ibid).

Di dalam ranah privat, tidak jarangnya kita mendengar tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga. KDRT atau kekerasan domestik ini merupakan sebuah masalah yang selalu ada dari waktu ke waktu. Dikutip dari laman Kemenpppa (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Republik Indonesia, Kekerasan yang hadir di rumah tangga, dari awal tahun 2023 sampai tulisan ini dibuat berada pada angka 16.242 kasus. Belasan ribuan kasus tersebut mencakup 58.4% dari kasus kekerasan berbasis gender yang ada berdasarkan tempat kejadian. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan domestik merupakan sesuatu yang sangat serius dan selalu ada sampai sekarang. Kekerasan domestik ini biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai kuasa---di dalam kasus keluarga yaitu laki-laki dewasa---secara materil maupun berdasarkan hierarki gender, yang dilakukan kepada kaum yang tersubordinasi---yang seringkali adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender ini tentu saja bukan hadir karena hal tersebut merupakan hal yang naluriah bagi pelaku, tetapi hal tersebut hadir karena adanya ketimpangan relasi kuasa dari gender-gender yang ada, di mana laki-laki hadir sebagai yang dominan karena adanya patriarki.

Hal yang perlu dipertanyakan adalah kenapa kekerasan domestik itu selalu ada? Kenapa sistem keluarga tradisional yang mengedepankan kepentingan sang suami atau laki-laki di dalam rumah tangga, selalu diperpetuasi hingga sangat sedikit alternatif yang ada? Kenapa sistem keluarga yang problematik ini selalu ada? Apa ada kaitannya keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat menjadi tempat kepentingan kapital dengan adanya kerja reproduksi yang tidak dibayar? Kenapa ketimpangan sosial ini selalu direproduksi, dan direproduksi oleh siapa?

Maka dari itu, muncul dua pertanyaan utama dalam tulisan ini. Pertanyaan pertama adalah Bagaimana keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat menjadi tempat bereproduksinya kekerasan domestik? Sedangkan pertanyaan kedua adalah bagaimana keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat menjadi ruang tumbuhnya reproduksi sosial?

Patriarki sebagai Sumber Kekuasaan Laki-Laki dalam Keluarga

Kata "Patriarki" dalam bahasa yunani merupakan ayah yang mengatur keluarga. Istilah tersebut memiliki konotasi kekuasaan, hubungan keluarga, dan hiearki sosial. Dengan adanya patriarki, Laki-laki mempertahankan privilesenya dengan mengontrol perempuan dan siapapun---termasuk anak-anak---yang dapat mengancam posisi kekuasaannya. Dengan adanya patriarki, perempuan dianggap sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki karena adanya pendefinisian kultur mengenai siapa yang lebih rendah, yaitu perempuan.

Mudau dan Obadire (2017) mengungkapkan bahwa patriarki dapat dialami di mana saja di Afrika Selatan dari berbagai kelompok etnis dan ras. Menurut Stromquist (2014) Patriarki di Afrika selatan mewujudkan dirinya dengan bagaimana patriarki mengontrol seksualitas dan fertilitas perempuan. Dalam banyak kasus, laki-laki mengontrol perempuan dalam ranah privat dan mereka dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Jika mereka menolak, terdapat kemungkinan kekerasan dan pemerkosaan di dalam keluarga.

Riset yang dilakukan oleh Mudau dan Obadire (2017) menunjukkan bahwa aspek dari patriarki terdapat di dalam beberapa bentuk, yaitu pengambilan keputusan dalam keluarga, kepercayaan budaya mengenai pelaksanaan pernikahan, komunikasi di antara suami dan istri, kepercayaan laki-laki mengenai kontrasepsi, jenis kelamin yang lebih disukai pada anak di dalam keluarga, dan praktik-praktik patriarki di dalam keluarga. Di dalam pengambilan keputusan, laki-laki menentukan berapa banyak anak yang akan dilahirkan. Dengan adanya patriarki, aspek kehidupan perempuan termasuk proses reproduksi, jumlah anak, dan bentuk kerja yang dilaksanakan oleh perempuan dikontrol oleh laki-laki. Kemudian dalam proses komunikasi, biasanya ada seorang "bibi" yang menjadi mediator di dalam keluarga. Namun, tidak sedikit pula laki-laki yang mengkomunikasikan keputusannya secara langsung, dengan pengaruh kepercayaan tradisi bahwa perempuan tidak boleh menyuarakan keresahan dan perasaannya. Mengenai kontrasepsi, laki-laki tidak menerima penggunaan kontrasepsi modern untuk pencegahan kehamilan. Laki-laki di sini menggunakan metode withdrawal atau keluar di luar. Mengenai jenis kelamin yang lebih diinginkan, banyak laki-laki yang lebih menyukai anak laki-laki dibanding perempuan karena ada anggapan bahwa laki-laki bisa menjadi kepala keluarga. Jika perempuan gagal melahirkan anak laki-laki, suaminya akan mencari perempuan lain yang bisa dinikahi. Semua perempuan yang menjadi objek penelitian setuju bahwa patriarki merugikan perempuan. Akses mengenai pendidikan pun dianggap tidak penting agar perempuan bisa bergantung kepada mereka dan memberikan laki-laki kesempatan untuk mengontrol mereka.

Ketimpangan Kuasa dalam Keluarga dan Kekerasan Domestik

Untuk memahami relasi kuasa yang ada di dalam hubungan suami-istri, dibutuhkan pemahaman mengenai kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan berkaitan dengan pengambilan keputusan. Menurut Dowding (1996) terdapat dua jenis kuasa, yaitu power to dan power over. Power to merupakan kemampuan seseorang menganalisis dan mengukur kemampuan diri sendiri untuk melakukan sesuatu, sedangkan Power Over merupakan kemampuan mengubah pelaku lain menghasilkan sesuatu. Kemudian melalui kacamata feminis, Cantor dan Bernay (1992) menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan pengaturan nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan maskulinitas dan feminitas. Kekuasaan diperlukan untuk memahami bahwa dalam kehidupan material akan selalu terjadi penstrukturalan hubungan sosial-materi di mana semua insan dipaksa untuk berpartisipasi. Menurut Blood dan Wolfe, distribusi dan alokasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga berhubungan erat dengan kebudayaan masyarakat dan sumber daya pribadi yang disumbangkan dalam perkawinan.

Dalam perkawinan, pola kekuasaan yang ada tidaklah setara. Menurut Eichler (1981) dalam Haryono (2000), ada empat pola ketergantungan ekonomi, di mana suami tidak bergantung pada istri dan istri bergantung penuh pada suami (dominan); Istri tidak tergantung suami dan suami tergantung penuh pada istri (dominan); Suami-istri saling bergantung (setara); dan suami-istri tidak saling bergantung (setara). Menurut Scanzoni (dalam Suleeman, 1999), pola perkawinan memiliki 4 macam, yaitu owner property di mana istri adalah milik suami, di mana tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri melakukan kerja-kerja reproduksi di rumah; Head-complement di mana istri adalah pelengkap suami, di mana suami istri mengatur kehidupan bersama-sama, namun keputusan terakhir tetap berada di suami; Senior-junior partner di mana istri tetap sebagai pelengkap dengan tambahan sebagai teman suami dan istri pun bekerja dan memberikan sumbangan ekonomi sehingga tidak tergantung sepenuhnya kepada suami; dan Equal partner di mana tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam pola hubungan suami Istri.

Pola kekuasaan yang timpang di dalam hubungan suami-istri atau di dalam hubungan keluarga menciptakan berbagai permasalahan di dalam keluarga tersebut, termasuk kekerasan domestik. Kekerasan domestik, menurut United Nations adalah pola perilaku di dalam sebuah hubungan yang digunakan untuk mendapatkan atau mempertahankan kuasa dan kontrol dari pasangannya. Kaur dan Garg (2008) mendeskripsikan kekerasan domestik sebagai kekuasaan yang disalahgunakan oleh orang di dalam hubungan untuk mengontrol yang lain. Kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan fisik, seksual, emosional, ekonomi, dan psikologikal yang mempengaruhi orang lain.

Susan Scheter dalam Kaur dan Garg (2008) pun mengelaborasi kembali bahwa kekerasan domestik bukan hanya sebuah perdebatan biasa. Kekerasan domestik adalah sebuah pola pemaksaan kontrol yang satu orang lakukan kepada yang lain. Pelaku kekerasan menggunakan kekerasan fisik dan seksual, pengancaman, hinaan emosional, dan pemiskinan ekonomi sebagai cara untuk mendominasi pasangannya.

Kekerasan domestik memiliki kaitan yang sangat signifikan dengan keadaan sosioekonomi keluarga. Dabaghi, Amini-Rarani, dan Nosratabadi (2021) menemukan bahwa terdapat sebuah hubungan yang signifikan antara status sosioekonomi dan kekerasan domestik terhadap perempuan di Isfahan, Iran. Temuan tersebut menyebutkan bahwa perempuan yang memilik status sosioekonomi bawah lebih rentan terhadap kekerasan domestik. Dalam penelitian tersebut, terdapat hubungan antara status sosioekonomi dengan kekerasan fisik ringan, kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan verbal, terkecuali kekerasan fisik berat.

Alasan dari beberapa kekerasan domestik yang dilakukan oleh pelaku, menurut Dabaghi, Amini-Rarani, dan Nostrabadi (Ibid) bermacam-macam. Kekerasan fisik ringan menurutnya dilakukan karena tekanan dari permasalahan ekonomi seperti memenuhi kebutuhan rumah tangga menyebabkan laki-laki menolak keinginan istrinya. Kondisi tersebut dapat menyebabkan pelaku kekerasan fisik kehilangan kesabaran, marah, cemas, dan berbagai macam emosi lainnya yang berpuncak pada kekerasan. Kekerasan verbal juga terjadi dalam masyarakat tradisional, dan dianggap lumrah oleh para korban kekerasan verbal di berbagai rumah tanggan di Isfahan.

Untuk menjawab pertanyaan inti pertama, kita harus memetakan keluarga atau rumah tangga seperti apa yang memiliki kecenderungan terjadinya kekerasan domestik. Apakah keadaan sosioekonomi keluarga berhubungan? Apakah nilai budaya yang dimiliki oleh baik pelaku atau korban kekerasan domestik memengaruhi adanya kekerasan domestik? Apa mekanisme yang menyebabkan nilai-nilai tersebut melumrahkan terjadinya kekerasan domestik? dan beberapa pertanyaan lainnya. Penelitian Dabaghi, Amini-Rarani, dan Nosratabadi (2021) mengonfirmasi bahwa terdapat keterkaitan yang signifikan antara status sosioekonomi dan kekerasan domestik. Perempuan yang rumah tangganya berada di kalangan bawah dalam status sosioekonomi memiliki kecenderungan lebih untuk mengalami kekerasan domestik. Perlu diketahui juga bahwa perempuan di dalam rumah tangga tersebut juga memiliki kecenderungan untuk bergantung pada pasangannya untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketergantungan ini lah yang menciptakan relasi kuasa yang timpang dilihat dari sisi sosioekonomi. Keluarga yang bergantung pada gaji yang hanya didapatkan oleh suami di dalam sebuah keluarga menciptakan sebuah relasi kuasa yang timpang yang menyebabkan istri lebih bergantung kepada suaminya.

Kekerasan domestik juga erat kaitannya dengan dominasi laki-laki di dalam sebuah hubungan keluarga. Dominasi laki-laki tersebut dikukuhkan dengan kultur patriarki yang ada di Indonesia. Budaya patriarki menyatakan bahwa laki-laki merupakan seorang yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki kuasa lebih terhadap sumber daya ekonomi---di mana perempuan seringkali bergantung atas hal tersebut---serta pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin di dalam keluarga. Budaya patriarki dicerminkan dengan berbagai lembaga atau institusi yang lebih mengakomodasi kepentingan laki-laki dibanding perempuan, seperti misalnya pembagian warisan yang timpang dan bias gender. Kultur patriarki pun tercemin dengan pemahaman agama yang cenderung lebih mengakomodir kepentingan laki-laki, salah satunya budaya islam yang patriarkis. Pemahaman agama yang patriarkis sangat berpengaruh terhadap pembentukan/penguatan budaya patriarkis di dunia muslim, termasuk Indonesia (Nirmala, 2015). Hal itu dapat ditinjau dari berbagai tafsir fiqih dan Qur'an yang dilakukan oleh laki-laki dan otomatis lebih mementingkan kepentingan laki-laki. Hal tersebut bisa dilihat dari pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan seperti menjadi hakim dulu, dan dihimbau untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Kemudian dalam budaya islam pun, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin solat, pemimpin khutbah, dan sebagainya.

Nurmila (2015) menunjukkan keterkaitan kultur patrirarki dengan budaya islam. Tuturnya, hampir seluruh sejarah islam ditulis oleh laki-laki mengenai laki-laki. Hal itu pun tercermin dalam fiqih di mana perempuan hanya ditujukan untuk melaksanakan kegiatan atau pekerjaannya hanya di wilayah domestik. Tuturnya pula, konstruksi gender yang memiliki kecenderungan mendomestikasi perempuan terdapat dalam kitab fiqih Syarh Uqd al-Lujjayn yang artinya Etika Berumah Tangga. Buku tersebut membahas hak dan kewajiban para suami istri, yang isinya cenderung mensubordinasi perempuan. Tafsiran atas Qur'an pun biasanya ditafsir oleh laki-laki, seperti ketika Ibn Katsir menafsirkan surah an-nisa ayat 34, di mana dinyatakan bahwa peran laki-laki adalah sebagai pengayom, pemimpin, penguasa, hakim, dan pendidik perempuan jika perempuan membengkok. Nurmila (Ibid) menyatakan bahwa terdapat anggapan bahwa semua laki-laki lebih berpendidikan dan memiliki kemampuan lebih untuk berperan sebagai pendidik perempuan, padahal kenyataannya kemampuan laki-laki berbeda-beda dan belum tentu bisa menjadi pendidik perempuan "yang bengkok".

Kekerasan domestik juga memiliki pengaruh dari kebudayaan yang memiliki keterhubungan dengan nilai-nilai patriarki. Mshweshwe (2020) menemukan bawa kekerasan domestik di Afrika Selatan merupakan dampak dari rangkaian keterkaitan antara budaya, patriarki, dan konstruksi maskulin yang negatif. Kepercayaan-kepercayaan budaya yang patriarkis tersebut menunjukkan penekanan lelaki dan dominasi perempuan dilakukan melalui kekerasan domestik. Penelitian Mshweshwe (Ibid) berusaha menjelaskan bahwa hierarki gender dan peran normatif untuk yang masuklin dan feminin yang seringkali ada di kultur Afrika Selatan memiliki implikasi terhadap kekerasan domestik. Perbedaan riset ini dengan berbagai riset lain adalah bahwa penelitian ini mengiyakan bahwa norma-norma budaya dan lingkungan sosial memiliki pengaruh terhadap kekerasan domestik di Afrika Selatan dan bukan hanya karena patriarki saja. Terdapat adanya hierarki gender susah untuk diubah dan ditekankan melalui kultur untuk mempertahankan dominasi laki-laki di dalam keluarga.

Maka dari itu, dapat dipahami bahwa ada sebuah keterhubungan antara kultur patriarki dengan kekerasan domestik. Dengan adanya kultur patriarki di mana laki-laki berada di dalam posisi dominan di keluarga, perempuan pun pada akhirnya menjadi kaum yang tersubordinasi. Dengan adanya subordinasi ini, orang yang dominan di dalam keluarga---yaitu laki-laki dewasa---dapat berbuat semau mereka untuk mengekspresikan kekesalan mereka. Dengan adanya kekesalan ini yang berdasar dari ketidakmampuan laki-laki menjadi seorang tulang punggung keluarga yang baik, yang ditanam oleh budaya bahwa sebagai laki-laki misalnya, orang tersebut harus menafkahi keluarga dengan baik, dan berbagai macam stereotipe lainnya, pada akhirnya laki-laki bisa melaksanakan kekerasan karena stigma budaya patriarki tersebut. Pada intinya, ketika laki-laki melihat perempuan sebagai insan yang tidak setara dibanding dirinya---yang divalidasi oleh kultur patriarki---akan memiliki kecenderungan untuk terjadinya kekerasan domestik.

Reproduksi Ketidaksetaraan dalam Keluarga

Terdapat beberapa alasan kenapa keluarga nuklir selalu ada dan berlipat ganda. Salah satu alasannya adalah kapitalisme. Kepentingan kapital ada dalam populasi, di mana populasi hadir agar bisa diserap tenaga kerjanya ke dalam sekrup kapital. Untuk kapital, keluarga merupakan sebuah unit ekonomi yang hadir untuk memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja (Dixon, 1977). Kepentingan kapital untuk keluarga adalah seorang ibu yang hadir untuk dapat memproduksi sebuah komoditas manusia, yaitu tenaga kerja potensial di kemudian hari kelak. Tenaga kerja baru itu hadir untuk dieksploitasi setelahnya oleh kaum kapitalis. Populasi kemudian diregulasi sedemikian rupa karena keterbatasan kapital untuk menghidupi keluarga dengan hak kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan sebagainya. Hal tersebut dibebankan kepada keluarga nuklir, dan oleh karena itu, anak-anak yang dilahirkan disesuaikan dengan kemampuan kepala keluarga untuk mengelola keluarganya. 

Selain populasi, terdapat juga ketidaksetaraan yang terus menerus dipertahankan, dan untuk mengkaji hal tersebut, dibutuhkan sebuah kerangka pemikiran yang berbasis pada teori reproduksi sosial. Weiss (2021) menyebutkan bahwa reproduksi sosial merupakan sebuah lensa untuk menganalis ketahanan masyarakat dari waktu ke waktu, meskipun manusia dan berbagai komponen materil lainnya terus berubah. Konsep mengenai reproduksi sosial menurut Mohandesi dan Teitelman dalam Bhattacharya(2017), mendefinisikan kembali bagaimana cara kita berpikir mengenai hubungan dari gender, seksualitas, ras, dan kelas; pengertian yang lebih baik mengenai sumber dari ketertindasan perempuan; mengetahui dependensi kapitalisme kepada kerja domestik yang tidak di bayar; dan menekankan diversitas dari perjuangan kelas, dan sebagainya. Dalam Bab Buku tersebut, ditekankan bahwa fungsi rumah tangga dalam corak produksi kapitalis merupakan hal penting dalam keberlangsungan reproduksi sosial.

Di dalam corak produksi kapitalis, keberadaan rumah tangga memiliki kontradiksi dalam fungsinya. Di satu sisi, kapitalisme sangat bergantung kepada rumah tangga untuk mengembalikan tenaga kerja dan mereproduksi hierarki gender.  Di sisi lain, rumah tangga merupakan sebuah hal yang penting untuk bertahannya kelas pekerja. Intinya, rumah tangga sangatlah esensial untuk reproduksi kapital dan kerja (Bhattacharya 2017).

Jeanne Boydston dalam Bhattacharya (Ibid) menunjukkan bahwa dalam sejarahnya, laki-laki dan perempuan membawa sumber daya mentah ke pada rumah tangga dan memprosesnya dengan lama menjadi barang yang berguna, dan keduanya melakukan berbagai kegiatan yang penting untuk mengisi sumber daya dari keluarga. Akan tetapi, dengan berkembangnya industrialisasi, muncul pemisahan dari tempat kerja dan tempat reproduksi sosial, sebuah pemisahan yang berkontribusi dalam pemikiran bahwa terdapat dua ruang aktivitas yang berbeda. Dengan adanya ketergantungan rumah tangga terhadap gaji, memberikan kuasa yang lebih kepada laki-laki yang mempercayai bahwa mereka merupakan orang yang menafkahi keluarga. Ini menyebabkan pemisahan lebih lanjut dalam kehidupan sosial dari kerja yang didominasi oleh laki-laki, dan rumah yang merupakan domain perempuan.

Artikel jurnal yang ditulis oleh Leli Ruspita (2012) membahas mengenai posisi ekonomi dan keputusan perempuan dalam keluarga. Menurut Marx dalam Ruspita (2012), perempuan seringkali dibebankan oleh kerja reproduksi. Kerja reproduksi sendiri merupakan kerja yang dilakukan untuk memproduksi pekerja agar mempunyai kapasitas untuk bekerja. Perempuan di dalam artikel ini untuk menjaga stabilitas ekonomi, melakukan kerja produksi dan reproduksi secara bersamaan. Dengan adanya pembagian kerja yang terlalu banyak, perempuan tidak bisa mengaktualisasi diri yang diakibatkan oleh alienasi sehingga mereka kehilangan kesadaran mereka sebagai dampaknya.

Reproduksi ketimpangan atau ketidaksetaraan sosial yang ada---termasuk ketimpangan di dalam hierarki gender---merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kepentingan kapital. Jika kita melihat secara luas, terdapat relasi sosial timpang yang memang selalu dijaga keberadaannya karena hal tersebut merupakan sesuatu yang menguntungkan untuk kaum yang berkuasa. Seperti misalnya, kapital dalam kajian marxis bukan hanya berarti modal yang dibutuhkan untuk mempertahankan terjaganya komoditas yang bisa selalu diproduksi, akan tetapi kapital dalam kajian marxis menekankan pada relasi sosial, di mana terdapat ketimpangan kuasa secara materil di mana kelompok kapitalis bisa membuat para kelas pekerja bisa hadir dan bekerja di pabrik atau tempat kerja. Hal tersebut hadir karena kelompok proletariat tidak mempunyai alat produksi yang menyebabkan mereka mengkomodifikasi tenaga kerja mereka sendiri. Relasi sosial tersebut juga hadir dalam keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat, di mana relasi sosial antara seorang tulang punggung keluarga---yang biasanya adalah laki-laki atau suami---dan seorang pekerja rumah tangga---yang biasanya adalah perempuan atau istri---menyebabkan pekerja rumah tangga tetap tersubordinasi. Alasan hal ini terjadi salah satunya adalah karena ketimpangan materil yang ada. Laki-laki sebagai tulang punggung keluarga bisa pulang ke rumah dengan gaji yang dia dapat dari bekerja di luar, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga tidak bisa menghasilkan materi ketika dia terpaksa bekerja hanya di rumah. Dengan ketimpangan materil tersebut, perempuan sebagai ibu rumah tangga harus bergantung ke pada gaji yang didapatkan oleh suami sebagai tulang punggung keluarga.

Subordinasi Perempuan untuk Ketahanan Kapital

Subordinasi perempuan juga hadir untuk kepentingan kapital. Melalui moralitasi borjuis, menurut Dixon (I977), moralitas borjuis hadir sebagai justifikasi kontrak pernikahan, di mana hal tersebut merupakan kesepakatan legal di mana suami diberikan hak untuk kuasa produksi dan reproduksi perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini, seorang istri dibentuk untuk bergantung pada suaminya. Kerja-kerja reproduksi yang dilakukan oleh seorang istri tidaklah dianggap sebagai sebuah kerja. Kerja-kerja reproduksi dianggap sebagai sebuah kompensasi atas lelahnya seorang suami bekerja di luar dari pagi sampai malam. Kemudian, budaya patriarki dibuat sebagai justifikasi atas penindasan ini. Berbagai konsep seperti kodrat dan kehendak Tuhan dimanfaatkan untuk menjustifikasi tidak dibayarnya kerja reproduksi yang dilakukan oleh perempuan.

Subordinasi perempuan ini tidak hadir dari ruang hampa, melainkan sesuatu yang terus menerus direproduksi oleh sistem. Dengan adanya subordinasi perempuan, perusahaan-perusahaan bisa memiliki berbagai banyak alasan untuk tidak membayar buruh perempuan secara layak. Suatu sarana-sarana afirmatif seperti cuti hamil dan cuti haid pun dihindari agar mendapatkan sokongan pekerja yang murah. Hal ini pun terjadi kepada para ibu rumah tangga, di mana ibu rumah tangga tidak bisa mendapatkan upahnya sendiri, melainkan harus bergantung ke pada suami yang menjadi tulang punggung keluarga di rumahnya untuk membawa gaji yang mereka bawa dari pabrik.

Ketimpangan sosial hadir dan selalu ada karena hal tersebut dipertahankan dan direproduksi sedemikian rupa sehingga hal tersebut tetap ada. Memelihara ketimpangan dan ketidaksetaraan sosial merupakan pemikiran penting dalam perspektif reproduksi sosial. Hal ini pun tercermin dalam kegiatan kerja yang dilakukan oleh ibu rumah tangga. Seorang ibu rumah tangga bekerja di rumah seperti mencuci, mengeringkan, menyetrika, dan merapikan baju. Kemudian ibu rumah tangga juga membeli komoditas yang diperlukan untuk memasak, kemudia mengolah bahan-bahan masakan tersebut dengan memasaknya sehingga bahan mentah tersebut hadir menjadi santapan yang bisa dinikmati oleh keluarga. Seorang ibu rumah tangga juga mengasuh anak-anaknya dari berbagai usia, dengan menemani mereka belajar, merapikan seragamnya, menyusui anaknya, menyiapkan barang-barang yang akan mereka bawa untuk sekolah nanti, dan sebagainya. Kemudian terbesit pertanyaan, apakah yang mereka lakukan itu merupakan kerja?

Pertanyaan tersebut lah yang mendasari ketertindasan yang dialami oleh para pekerja reproduksi. Pemaknaan kerja yang sangat sempit, di mana kerja merupakan sesuatu yang kita lakukan agar kita dapat dibayar atas jerih payah yang kita lakukan, menyebabkan terciptanya sebuah ilusi bahwa hal yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga bukanlah kerja. Padahal, kerja-kerja yang seorang ibu rumah tangga lakukan merupakan hal-hal yang penting agar para tulang punggung keluarga dapat mereproduksi kembali tenaganya sehingga dia dapat kembali bekerja di luar rumah. Kerja-kerja yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga hadir untuk memastikan agar suaminya bisa secara sehat dapat pulang ke rumah dengan uang hasil jerih payahnya dari tempat kerja tersebut.

Disamping itu, pengertian bahwa kerja reproduksi bukanlah merupakan kerja, sangatlah diskriminatif terhadap para pekerja reproduksi. Hal tersebut mengukuhkan pandangan bahwa hanya laki-laki saja lah yang harusnya bekerja, sedangkan perempuan seharusnya melakukan kegiatan-kegiatan domestik saja di rumah. Hal ini mengukuhkan persepsi patriarki yang menjustifikasi laki-laki untuk melakukan apa saja terhadap orang yang tidak "bekerja" di dalam rumah tangganya. Hal ini juga yang menyebabkan kenapa kekerasan domestik selalu ada. Ketimpangan materil yang hadir disini menjadi justifikasi bagi laki-laki untuk bisa menjadi sosok dominan di dalam rumah tangga.

Kesimpulan

Berbagai hal yang menyubordinasi suatu kaum tertentu---dalam konteks tulisan ini adalah perempuan pekerja reproduksi---memiliki kepentingan yang berada di dalamnya. Subordinasi tersebut tidak muncul dalam ruang hampa. Ada alasan yang mendasari kenapa subordinasi itu penting untuk sistem yang lebih besar, yaitu kapitalisme. Konsep keluarga tradisional dan patriarki memiliki peran andil dalam mempertahankan atau mereproduksi ketidaksetaraan gender, dan salah satu cara untuk mempertahankan ketidaksetaraan tersebut adalah kekerasan domestik.

Selain kekerasasn domestik, hal tersebut bisa kita kaji menggunakan teori reproduksi sosial yang menekankan peran keluarga di dalam kapitalisme. Keluarga merupakan institusi penting karena aspek-aspek keluarga seperti ibu rumah tangga, dapat memproduksi---seperti melahirkan anak---dan reproduksi---seperti memasak, mencuci baju, dan berbagai hal kegiatan yang dilakukan untuk menunjang si suami yang bekerja di luar---tenaga kerja.

Pentingnya institusi keluarga tradisional menyebabkan institusi tersebut dijaga oleh sistem. Mekanisme pertahanan ketimpangan gender tersebut hadir dengan mempertahankan kultur patriarki yang secara dialektis memengaruhi dan dipengaruhi oleh keluarga. Sebagai imbas dari kultur patriarki, muncul dominasi laki-laki yang kemudian juga mereproduksi kekerasan domestik.

Daftar Pustaka

Bhattacharya, T. (Ed.). (2017). Social reproduction theory : remapping class, recentering oppression. Pluto Press.

Dabaghi, N., Amini-Rarani, M., & Nosratabadi, M. (2023). Investigating the relationship between socioeconomic status and domestic violence against women in Isfahan, Iran in 2021: A crosssectional study. Health Science Reports, 6(5). https://doi.org/10.1002/hsr2.1277

Fawole, O. I. (2008). Economic Violence To Women and Girls. Trauma, Violence, & Abuse, 9(3), 167--177. https://doi.org/10.1177/1524838008319255

Haryono, B. (2000). Kekuasaan istri tergantung suami. Pustaka Cakra.

Kaur, R., & Garg, S. (2008). Addressing Domestic Violence against women: an Unfinished Agenda. Indian Journal of Community Medicine, 33(2), 73. https://doi.org/10.4103/0970-0218.40871

Komnas Perempuan. (2023). Catahu 2023: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2022.

Laslett, B., & Brenner, J. (1989). Gender and Social Reproduction: Historical Perspectives. Annual Review of Sociology, 15(1), 381--404. https://doi.org/10.1146/annurev.so.15.080189.002121

Mshweshwe, L. (2020). Understanding domestic violence: masculinity, culture, traditions. Heliyon, 6(10). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e05334

Mudau, T. J., & Obadire, O. S. (2017). The Role of Patriarchy in Family Settings and its Implications to Girls and Women in South Africa. Journal of Human Ecology, 58(1-2), 67--72. https://doi.org/10.1080/09709274.2017.1305614

Nurmila, N. (2015). PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PEMAHAMAN AGAMA DAN PEMBENTUKAN BUDAYA. KARSA: Jurnal Sosial Dan Budaya Keislaman, 23(1), 1. https://doi.org/10.19105/karsa.v23i1.606

Pierik, B. (2022). Patriarchal power as a conceptual tool for gender history. Rethinking History, 26(1), 1--22. https://doi.org/10.1080/13642529.2022.2037864

Ruspita, L. (2012). Keterasingan Perempuan dari Pekerjaannya: Kemitraan Suami-Istri dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga. Jurnal Perempuan, 74(2), 23--45.

Suleeman, E. (1999). Hubungan-hubungan dalam Keluarga. Yayasan Obor Indonesia.

True, J. (2010). The Political Economy of Violence Against Women: A Feminist International Relations Perspective. Australian Feminist Law Journal, 32(1), 39--59. https://doi.org/10.1080/13200968.2010.10854436

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun