Guntur sekarang sudah ada di kepalaku. Mengapa aku dan kau harus berada diposisi seperti ini tuan? Aku mencintaimu tapi itu dulu tuan, saat aku tahu kamu pacaran. Aku tak lagi memeiliki rasa. Semudah itu Allah membolak-balik hatiku.Â
Aku hanya diam dengan pertanyaanmu itu. Karena tulisan itu memang untukmu.
"Jawab Zahra" Katamu. Kulihat air mata menetes di pipimu.Â
"Kamu kenapa menangis? " Tanyaku.Â
"Jika benar itu adalah Aku. Maka, kamu harus tahu Zahra. Aku juga punya rasa terhadamu. Sama sepertimu yang merindukan hari dimana Allah mempertemukan. Aku juga demikian. Aku mengagumimu, bahkan meskipun kita tak kunjung bertemu. Tapi sayangnya, Orangtuaku memaksaku menikah dengan Amel, Zahra. Aku tidak punya pilihan. Aku minta maaf" Katamu kepadaku tuan.Â
Lagu Bernadya, entah siapa yang memutarnya  sekarang sudah berhenti. Suara Adzan magrib mulai terdengar. Air mata membasahi pipimu tuan, aku bisa melihat ketulusanmu.Â
"Menikahlah dengannya Tuan, jangan kecewakan orangtuamu! Berbaktilah kepada oramgtuamu! Lupakan Aku! Karena tepat ketika aku melihatmu bersamanya. Aku sudah tak punya rasa lagi. Pun kau dengan tak punya malu menyampaikan rasamu hari ini. Hari dimana kau sudah akan menikah dengannya. Maka, Menikahlah! Buang semua rasa yang kau punya. Ini waktunya cerita diantara kita selesai selama-lamanya. " Ucapku kepadamu.Â
Lalu, aku pergi tanpa peduli lagi dengan air mata yang membasahi pipimu. Sholat maghrib lebih penting, dari pada sekedar be romantis kata dengan orang yang bahkan tak halal bagiku.Â
Aku sudah ikhlas kau pergi dari hidupku selama-lamanya tuan.Â
Tapi dalam keikhlasnku pun aku masih mendoakan yang terbaik untukmu. Maka setelah sholat magrib, aku berdoa. Agar kau tak menjalin hubungan haram dengan siapa pun. Jika pun kau akan bersama Amel, semoga kamu dan segera menikah. Itu saja tuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H