Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kaca Lemari

16 Agustus 2024   12:48 Diperbarui: 16 Agustus 2024   12:54 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Canva; Designer Rahmi Yanti

Perempuan itu menangis terseduh-seduh di pojok kamarnya. Aku tahu , dia  cuma pura-pura. Agar semua orang menganggap bahwa apa yang dia katakan adalah benar dan bukan dia yang memecahkan kaca lemari itu. Sungguh   perempuan yang satu ini sangat banyak manipulatif.

***

Sore tadi, saat ibu menyuruh anak perempuan kesayangannya menaruh baju-baju yang sudah ibu lipat rapi ke lemari di kamar ibu. Tiba-tiba saja terdengar suara serpihan kaca yang hancur berkeping-keping. Bukan itu saja, saat aku dan ibu datang ke kamar itu. Kulihat perempuan itu, tengah memegang sebuah kayu. Wajahnya merah,basah bertumpahan keringat, dan penuh tekanan. Dia memang aktris yang hebat. 

Aku yakin, dia yang sudah memecahkan kaca lemari itu. Dia memang perempuan gila! Dua hari kemarin. Ia tiba-tiba mencekik leherku. Hampir saja aku kehilangan nyawaku. Jantungku sudah hampir tak berdetak lagi. Gara-gara wanita ini. 

Lalu, tiba-tiba Riko datang dan perempuan itu melepaskan cekikan itu. Karena kesakitan aku, menangis. Sambil mempertanyakan kenapa dia tega, mencekikku dari belakang. Aku kan adiknya sendiri. Selama ini aku juga baik kepadanya, aku tidak pernah melawan dia bahkan ketika ayah dan ibu lebih menyayanginya. Aku tidak iri. Lalu, kenapa dia mencekikku di saat aku sendiri? 

Anistia, dia kakakku. Usianya hanya beda satu tahun di atasku. Selama bertahun-tahun kami tidak pernah berkelahi. Meski pun banyak orang yang tidak percaya. Maklum, aku dan Anistia beda ibu. Ayah menikahi ibuku karena istri pertama ayah alias ibu kandung Anistia sudah meninggal. Ikatan pernikahan ayah dan ibu itulah yang membuat aku menjadi putri bungsu di rumah ini.

Meskipun aku adalah putri kandung ibu, tapi ibu lebih sayang kepada Anistia. Sejak kecil, semua permintaan Anistia akan selalu dituruti ibu.  Apalagi sejak ayah meninggal di usiaku  yang ke 6 tahun. Ibu semakin menampakkan bahwa dia lebih menyayangi Anistia. Ibu selalu membeli makanan kesukaan Anistia setiap hari minggu. Membelikannya baju setiap ibu gajian dan memberikan apa saja yang diminta oleh Anistia. Sementara Aku, kalau aku minta sesuatu. Ibu selalu bilang "Kamu harus paham kondisi kita nak. " 

Tapi, aku tak pernah peduli soal itu. Karena ibu bilang dia kakakku dan aku wajib menghormatinya. Untuk tidak menyakiti hati ibu. Aku pun selalu bersama . Suka dan dukanya bersama Anistia. 

Tapi hari itu, ketika untuk pertama kali ibu memelukku lagi setelah sekian tahun. Selesai dari situ, Anistia malah mencekik leherku tanpa ampun. Aku berusaha melepaskannya. Tapi dia bagaikan iblis! Tangannya seperti tangan raksasa yang bebannya beribu-ribu ton. Aku tak bisa melepaskan diri

Sampai Riko datang. Anistia menurunkan tangannya. Aku menangis sambil memaki-maki  Anistia dan memukulinya pelan. 

Sialnya, wajahnya malah kelihatan lugu. Seolah dia tidak melakukan apa-apa terhadapku. 

"Kamu kenapa Dil? " Ucapnya. 

"Jahat kamu Anistia! Kalau aku mati bagaimana? " Air mataku bercucuran. Ini sangat menyedihkan. Aku hampir saja kehilangan nyawa karena kakakku sendiri. "

"Maksud kamu apa Dil? " Ujarnya polos. Di wajahnya tak ada bentuk penyesalan sedikit pun. Dia berlaku seolah tidak terjadi apa-apa. 

"Kamu baru saja mencekik leherku! " Teriakku histeris. Aku sangat marah, mengingat bagaimana sakitnya leherku dan bagaimana menahan  napas  dalam-dalam agar sisa-sisa napasku bisa bertahan. 

"Astaghfirullah Dil! Kamu tega menuduh kakakmu sendiri seperti itu, "katanya. Sekarang air matanya menetes. Wajahnya bersedih. 

Dia bilang aku menuduh? Wahhh... Ini sangat di luar dugaanku. Jadi ini wajahnya aslinya? Apa dia cemburu karena ibu memelukku tadi pagi? 

"Dil, kamu kenapa sih? Anistia itu kakakmu. Kamu jangan fitnah dia begitu!" Sambung Riko. 

Bayangkan jika kamu di posisiku? Pacarmu sendiri menuduh kalau kamu memfitnah kakakmu yang hampir saja mau membunuhmu? Bagaimana sakitnya ketika kamu dicekik, lalu orang yang mencekik bilang kalau kamu menuduhnya. Bayangkan kamu yang korban, tapi pelaku yang dianggap korban! Menyakitkan bukan? Inilah yang terjadi padaku. Sakit sekali rasanya. 

***

"Kamu gak papa Nak? " Tanya Ibu kepadanya. Ia langsung melemparkan kayu yang ada di tangannya ke lantai. Lalu memeluk erat ibu dan dia menangis tersedu-sedu di pelukan ibu. 

"Kacanya kenapa bisa pecah? " Setahuku kaca yang ada di lemari itu masih erat dan kuat. Kalau jatuh tidak mungkin! Kecuali ada yang melepas bautnya secara sengaja. Tapi jika aku lihat dari pecahan kacanya. Sepertinya itu tidak jatuh tapi sengaja dipecahkan. Pasti dia yang sudah memecahkan kaca itu.

Belakangan dia suka playing victim demi mendapatkan perhatian orang-orang di sekitarnya dan beraksi di depan orang yang dibencinya. Mungkin ini efek karena ayah meninggal. Aku juga tak menyangka bahwa Anistia begitu membenciku sehingga hanya aku yang tahu kalau dia hanya akting saja.

"Aku tidak tahu, bautnya lepas sendiri dan kacanya jatuh" Katanya sambil menangis.

"Halah.. Bilang saja kamu yang sudah memecahkan kacanya! Kamu gini buat caper kan? Kamu jangan pura-pura deh. Itu kayu  buat apa? Terus baju-baju yang ibu suruh kau masukin ke lemari. Kenapa malah berantakan di kasur?  Ini artinya kamu memang sengaja memukul kaca itu kan? " Ujarku, sangat kesal. 

Tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia lari ke kamarnya dan menutup pintu karena tak tahan kumaki-maki. Tapi suara tangisnya itu amat mendalami peran. Lakonnya luar biasa. Seolah-olah dia sedang memikul sebuah penderitaan yang sangat besar di pundaknya. 

Ibu memarahiku dan menyuruhku meminta maaf kepadanya. Aku tidak mau, tapi ibu terus memaksaku dan memarahiku habis-habisan. Akhinya dengan hati yang penuh dengan rasa terpaksa. Aku pergi menemuinya ke kamar. Aku menarik napas dalam-dalam. Sebelum kubuka pintu kamarnya dengan perlahan. 

Ketika kakiku melangkah ke dalam kamar Anistia. Bulu kudukku merinding seketika, hawa yang tak biasa kurasakan di kamar ini. Suara tangisnya pun semakin menghilang. Kamar itu semakin gelap sehingga aku tak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan. Aku memutuskan untuk membuka pintu dan keluar. Tapi, pintunya malah terkunci dengan rapat. 

Aku memanggil Anistia. Tapi tak ada sahutan apa pun. Yang kudengar adalah suara angin yang begitu kencang berhembus di daun telingaku. Lampu kamar Anistia tiba-tiba Berkedip-kedip. Aku tetap menenangkan kepala. Mungkin saja bola lampunya sudah rusak. Apa Anistia sengaja mengunciku di kamarnya ketika melihat aku masuk? Anistia pasti sedang mengerjaiku. 

Aku kembali ke belakang pintu. Mengetok-ngetok  pintu kamar dan memanggil Anistia atau ibu. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda orang di luar kamar. Lampu kamar tiba-tiba menyala. Aku bersyukur dan mengucapkan "Alhamdulillah."

Tapi aku kaget tiba-tiba kulihat Anistia di depanku. Ia duduk dengan tertunduk tanpa bersuara. Aura yang kurasakan semakin negatif. Kalau Anistia di depanku. Siapa yang telah mengunci pintu kamar ini? Perlahan aku mendekat ke Anistia. 

"Aku minta maaf kak. Mungkin tadi aku terlaluan" Ucapku dengan sinis dan nada yang terpaksa. 

Anistia hanya diam. 

"Kalau kamu gak mau maafin ya udah. Tolong buka pintu kamar ini. Aku mau keluar" Kataku lagi dengan jengkel. 

Masih tak ada suara. Ia masih diam seolah tak mendengar apa-apa. Apa dia tidur? Tapi mana mungkin.

"Anistia! Kamu dengar aku gak sih? " Aku sudah dipenuhi emosi. 

Anistia masih diam. Aku mendekatinya mencoba untuk mendirikan kakak perempuanku itu. Saat jarakku antara dia hanya satu jengkal. Tiba-tiba ia terbangun dengan bola api yang menyala di matanya. Taring di giginya. Dan rambutnya tiba-tiba gondrong dan berantakan. Aku teriak dengan penampilannya yang seperti setan. Air kencingku tak bisa lagi kutahan saat kulihat Anistia melayang. Wajahku merah dan jantungku berdetak dengan sembrawutan. Anistia menyerangku dan menerkamku hingga aku terpental ke pintu yang membuatku keluar dari kamar. Aku menjerit dengan keras. 

Ibu datang menghampiriku, menanyakan kenapa denganku. Aku memeluk ibu dengan erat. Sambil menangis kuceritakan apa yang baru saja kualami. Ibu heran, Karena ibu merasa tidak ada kaca lemari yang pecah dan Anistia tak menangis. Kata ibu sedari tadi Anistia bersamanya. Untuk membuktikan perkataanku aku membuka pintu kamar Anistia. Tapi anehnya perempuan itu tak ada disana. Kamarnya juga biasa saja, tak seperti ketika aku masuk ke sana.

 Ibu memanggil Anistia dan benar dia datang dari dapur. Lalu untuk memastikan, aku ke kamar ibu. Untuk melihat serpihan kaca yang hancur berkeping-keping tadi. Anehnya tak ada serpihan apa pun disana. Kamarnya bersih, dan kacanya utuh tanpa goresan. 

"Apa aku berhalusinasi? " Ujarku. Lalu tiba-tiba sosok dengan bola api di matanya ada di kaca lemari. Jangan-jangan bukan Anistia yang mencekikku kemarin itu. Bisa saja sosok ini yang merasuki Anistia kan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun