Sialnya, wajahnya malah kelihatan lugu. Seolah dia tidak melakukan apa-apa terhadapku.Â
"Kamu kenapa Dil? " Ucapnya.Â
"Jahat kamu Anistia! Kalau aku mati bagaimana? " Air mataku bercucuran. Ini sangat menyedihkan. Aku hampir saja kehilangan nyawa karena kakakku sendiri. "
"Maksud kamu apa Dil? " Ujarnya polos. Di wajahnya tak ada bentuk penyesalan sedikit pun. Dia berlaku seolah tidak terjadi apa-apa.Â
"Kamu baru saja mencekik leherku! " Teriakku histeris. Aku sangat marah, mengingat bagaimana sakitnya leherku dan bagaimana menahan napas dalam-dalam agar sisa-sisa napasku bisa bertahan.Â
"Astaghfirullah Dil! Kamu tega menuduh kakakmu sendiri seperti itu, "katanya. Sekarang air matanya menetes. Wajahnya bersedih.Â
Dia bilang aku menuduh? Wahhh... Ini sangat di luar dugaanku. Jadi ini wajahnya aslinya? Apa dia cemburu karena ibu memelukku tadi pagi?Â
"Dil, kamu kenapa sih? Anistia itu kakakmu. Kamu jangan fitnah dia begitu!" Sambung Riko.Â
Bayangkan jika kamu di posisiku? Pacarmu sendiri menuduh kalau kamu memfitnah kakakmu yang hampir saja mau membunuhmu? Bagaimana sakitnya ketika kamu dicekik, lalu orang yang mencekik bilang kalau kamu menuduhnya. Bayangkan kamu yang korban, tapi pelaku yang dianggap korban! Menyakitkan bukan? Inilah yang terjadi padaku. Sakit sekali rasanya.Â
***
"Kamu gak papa Nak? " Tanya Ibu kepadanya. Ia langsung melemparkan kayu yang ada di tangannya ke lantai. Lalu memeluk erat ibu dan dia menangis tersedu-sedu di pelukan ibu.Â