Anistia hanya diam.Â
"Kalau kamu gak mau maafin ya udah. Tolong buka pintu kamar ini. Aku mau keluar" Kataku lagi dengan jengkel.Â
Masih tak ada suara. Ia masih diam seolah tak mendengar apa-apa. Apa dia tidur? Tapi mana mungkin.
"Anistia! Kamu dengar aku gak sih? " Aku sudah dipenuhi emosi.Â
Anistia masih diam. Aku mendekatinya mencoba untuk mendirikan kakak perempuanku itu. Saat jarakku antara dia hanya satu jengkal. Tiba-tiba ia terbangun dengan bola api yang menyala di matanya. Taring di giginya. Dan rambutnya tiba-tiba gondrong dan berantakan. Aku teriak dengan penampilannya yang seperti setan. Air kencingku tak bisa lagi kutahan saat kulihat Anistia melayang. Wajahku merah dan jantungku berdetak dengan sembrawutan. Anistia menyerangku dan menerkamku hingga aku terpental ke pintu yang membuatku keluar dari kamar. Aku menjerit dengan keras.Â
Ibu datang menghampiriku, menanyakan kenapa denganku. Aku memeluk ibu dengan erat. Sambil menangis kuceritakan apa yang baru saja kualami. Ibu heran, Karena ibu merasa tidak ada kaca lemari yang pecah dan Anistia tak menangis. Kata ibu sedari tadi Anistia bersamanya. Untuk membuktikan perkataanku aku membuka pintu kamar Anistia. Tapi anehnya perempuan itu tak ada disana. Kamarnya juga biasa saja, tak seperti ketika aku masuk ke sana.
 Ibu memanggil Anistia dan benar dia datang dari dapur. Lalu untuk memastikan, aku ke kamar ibu. Untuk melihat serpihan kaca yang hancur berkeping-keping tadi. Anehnya tak ada serpihan apa pun disana. Kamarnya bersih, dan kacanya utuh tanpa goresan.Â
"Apa aku berhalusinasi? " Ujarku. Lalu tiba-tiba sosok dengan bola api di matanya ada di kaca lemari. Jangan-jangan bukan Anistia yang mencekikku kemarin itu. Bisa saja sosok ini yang merasuki Anistia kan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H