Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ifan

11 April 2024   23:43 Diperbarui: 12 April 2024   09:58 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Id. Pinterest Indonesia 

Sore itu,  setelah lelah memasak mie untuk buka puasa bersama adik-adik di masjid muhajirin. Aku, tengah menunggu orang yang akan menjemput mie ini. Sebab, mie   dengan satu kantong plastik besar ini, tak bisa kubawa sendiri.  Apalagi berjalan dari jarak jauh. 

Ifan dan Asman yang akan menjemput mie ini ke rumah. Karena dari ketujuh teman kelompokku itu,  hanya Asman yang tahu rumahku. Dia pernah datang ke rumah waktu aku sakit dan kehilangan suaraku. Ia bersama teman-teman pengurusan di organisasiku, datang menjengukku. 

Akhirnya, kedua orang itu tiba. Asman mengangkat palstik mie. Dan membawanya ke sepeda motor yang disopiri Ifan. 

"Terus, kamu gimana?" Tanya Ifan. 

"Ya, gak gimana-gimana" kataku. 

"Loh, ini ke simpang. Jalannya, super jauh Zahra" ucapnya. 

"Udah...aman" kataku. 

"Ciee.." Adik-adikku nyengar-nyengir. 

Maklum, adik-adikku akan sensitif  kalau, aku bicara dengan laki-laki. Sebab, Aku sangat jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki.  Kecuali ayah, adik laki-lakiku, dan para dosen. Ya, kalau ada interaksi palingan karena ada urusan pendidikan, atau jual beli. 

Ifan menoleh ke adik-adikku. Lalu, ia lihat wajahku  yang terlihat kesal. 

"Ini, serius aman kan?" Kata Asman. 

"Aman, Man. Udah kalian berangkat aja!. Aku nanti naik angkot aja" ucapku lagi. 

"Ya udah. Kita jumpa di masjid. Hati-hati! Kita duluan. Assalamualaikum ." kata Ifan. 

"Kita duluan ya Zahra" Sambung Asman. 

Aku menganggukkan kepala, dan tersenyum pertanda setuju. Dua insan itu pun pergi dan melaju. 

"Ehemmm.." suara adik-adikku sangat mengesalkan. 

Bocah-bocah tengil itu suka sekali menggodaku.  

"Kak Zahra, kok temanmu itu mirip banget sama kamu?" Kata Aswin adik  laki lakiku. 

"Ciee..." sahut dua bocah tengil  lagi. 

"Jangan-jangan itu jodohmu, Ra" kata Ibu, ikut-ikutan menggodaku.  

"Mirip gimana sih. Jelas-jelas gak ada mirip miripnya" Kataku kesal. 

"Serius loh, Kak Zahra. Itu, yang sopirin sepeda motor. Mirip banget sama Kak Zahra. Cieee..." Si Aswin tengil itu terus menggodaku.  

Rupanya maksud mereka, wajahku mirip dengan Ifan. 

Aku tak menganggap serius candaan itu. Aku pamit kepada Ibu. Dan memulai perjalananku, untuk menuju masjid muhajirin.*

Muhammad Ifan Aliandi. Itu nama lengkap Ifan. Aku mengenalnya waktu masih semester tiga. Waktu itu, kami sama sama lolos dalam sebuah lomba puisi.  Dan karena kami akan tampil di babak final,  demi untuk menyiapkan penampilan terbaik di babak final.  Aku dan Ifan disuruh menemui Pak Roni. Seorang dosen, yang paham soal kesenian dan sastra. 

Pertama kali kami latihan dengan Pak Roni.  Kami ditinggal dalam sebuah ruangan kecil dipenuhi dengan alat-alat musik serta lukisan-lukisan indah. Ini memang terlihat seperti ruangan kesenian. Entah kemana pak Roni pergi. Aku dan Ifan disuruh menunggu di ruangan itu. Sambil latihan mandiri. Bayangkan,  hanya berdua saja. 

Disanalah percakapan kami dimulai. 

"Siapa namamu? Zahra Zakiatunnisa?" Tanyanya.  

Aku mengagukkan kepala, Dalam batinku aku ingin tertawa.  Kalau dia tahu namaku, kenpaa dia bertanya. 

"Aku Ifan"ujarnya. 

Aku, anggukkan kepalaku. 

"Muhammad Ifan Aliandi, ganteng dan soleh Insya Allah" katanya nyengir. 

Aku tertawa. Lalu, kualihkan perhatianku ke arah jendela.Tiba-tiba kudengar suara alunan gitar yang demikian  merdu. Ternyata,  tangan Ifan, sudah gatal untuk memainkan gitar yang terletak disudut ruangan itu. 

"Apa yang kamu lihat?" Tanyanya. 

"Musiknya bagus" ucapku. 

Lalu, menghadap arah jendela lagi. 

"Oh, tentu. Apa sih yang gak bagus kalau ditanganku" katanya sambil tertawa. 

Aku langsung menghadapnya. Sebuah candaan yang garing sebenarnya.  Tapi, aku kaget. Karena melihat tampilan puisinya waktu tahap penyisihan. Aku punya ekpektasi tentangnya.  Kukira dia laki-laki dingin yang tak banyak bicara, kecuali dengan untaian puisi sambil menikmati kopi.  Aku tertawa tipis. Sekedar menghargainya.  

"Puisi kamu, kemarin bagus. Apa filosopi kamu membuat puisi itu?" Tanyaku. 

Dia langsung tertawa keras. Aku melototinya, sambil tersenyum.  Dalam hatiku, bertanya-tanya. Apa yang salah dengan pertanyaanku? 

"Kenapa tertawa?" Kataku, tersenyum heran. 

"Bahasamu berat sekali. Pakai filosopi segala.  Memang filosopi kopi?" Katanya, sambil memainkan senar gitarnya.  Dengan wajah yang amat sumringah.

"Bukan, maksudku. Ketika kita membuat puisi, pasti ada hal yang menjadi inspirasi. apalagi  puisimu tadi amat indah ditelingku. Pasti ada sesuatu yang menginpirasi kan." Kataku.  

"Indah? Puisinya yang indah, atau orang yang membacanya?" Ujarnya, tertawa. 

Seketika aku membuang muka. Baru kali ini, aku bertemu orang sepercaya diri itu. Dan dia sangat ramah sekali, mudah sekali dia tertawa. Baru kali ini aku langsung merasa cair . Dengan orang yang baru saja kukenal, apalagi itu seorang laki-laki. 

Aku ikutan tertawa. Sambil geleng-geleng kepala. Melihat kekocakannya, yang menurutku mungkin penuh dengan hal-hal random dan lucu. 

"Pak Roni kok lama kali yah? Kok kita ditinggalin berdua sih disini " kataku. 

"Nggak tahu. Lagian yah, kalau kita berdua disini.  Emangnya kenapa? Tenang aja! aku gak bakal ngapa-ngapain kamu juga" kata Ifan. 

"Bukan itu, masalahnya. Kan Kita.." 

"Bukan mahrom?" Tanyanya.  

Aku menganggukan kepala.  

"Ya udah, kita bikin mahrom!" katanya tertawa lagi. 

"Ha?" Kataku kaget. Laki-laki yang baru saja kukenal ini, amat suka sekali bercanda. 

Ia terus memetik senar gitar itu. Sementara aku, mulai mengira-ngira. Kalau laki-laki yang ada di hadapanku ini. Barangkali, adalah buaya. Maksudku, disetiap candaannya terselip gombalan-gombalan buaya.  Begitulah first Impressionku dengan Ifan. Baru saling kenal,  aku sudah bayak dibuatnya tertawa. *

Atas kehendak Allah, di semester 4 aku satu kelas dengan Ifan. Rupanya, laki-laki itu amat pendiam sekali di kelas. Tak banyak kulihat dia berinteraksi dengan siapa pun. Bahkan dengan teman-teman yang katanya akrab dengannya. 

Di kelas, pemuda itu amat suka tertidur. Aku suka geleng-geleng kepala. Kalau melihat anak yang satu itu tertidur. Maklum, waktu itu di masih seorang pembimbing di asramah laki-laki. Mungkin dia kurang tidur. 

Ada yang membuatku amat kagum dengan pria yang satu ini. Bayangkan, kamu melihat dia selama pelajaran. Memejamkan mata, dan mungkin  telah hanyut pada dunia mimpi. Melihat nyenyaknya tidurnya. Anehnya, malah dia yang paling banyak bertanya saat presentasi. Dia pula yang paling bayak menanggapi, seolah tadi dia mendengarkan dengan saksama. Hebatnya, apa yang dia jelaskan. Selalu lebih jelas, dari pada pemateri. Bahkan, kadang kala. Apa yang tidak bisa terjawab pemateri. Si pemuda yang suka tidur ini, mampu menjawabnya dengan benar. Kalau aku menantapnya. Aku suka geleng-geleng keheranan, sambil mengacungkan jempol. 

Qodarullah, Allah terus-terusan membuatku berurusan dengan laki-laki itu. Waktu, ada pemilihan mahasiswa pilihan untuk mengabdi mengajar di salah satu SMA di kotaku. Aku dan Ifan bertemu lagi. Walau interaksi kami tak begitu banyak.  Hanya saja, Tuhan menakdirkanku untuk mengenalnya dengan lebih dalam,  dibandingkan teman-temanku yang hanya bisa mengagumninya. Hehehe....

Aku tak mengagumi Ifan. Aku hanya kagum pada kecerdasannya. Kagum pada keberaniannya, kagum kepada humornya yang selalu berhasil membuat sekitarnya tertawa, kagum juga pada kedekatannya dengan orang-orang baik, serta kagum pada kerja kerasnya. 

Pernah suatu saat, Ifan viral di kalangan  Cewek-Cewek satu jurusanku. Katanya, Ifan punya pacar.  Semua teman-teman perempuanku kecewa. Menurut mereka, Ifan adalah laki-laki sempurna untuk dijadikan imam rumah tangga. 

Ifan,  laki-laki yang baik. Ya, walau gak tahu itu baik, atau sok baik? Terus kalau sok baik, itu sok baiknya keberapa wanita? Aku gak tahu soal itu. Yang jelas, selain baik dia pekerja keras. 

Ketika semster 3-4 dia bekerja di asramah laki-laki, sebagai seorang  pembimbing para maba di asramah. Sebetulnya, kampus kami wajib asramah selama semster 1-2. Kemudian, setelah itu dia menjadi marbot di sebuah masjid bernama "Al-Hidayah" bukan itu saja, dia juga jadi guru ngaji di sebuah MDA dekat masjid itu. Mengajar di sebuah SD  islam terpadu juga, dan dia juga jadi gru privat ngaji para bapak-bapak disekitar perkampungan masjid itu. 

Soal kerja keras, mungkin Aku bisa jadi saksi kalau Ifan, adalah laki-laki pekerja keras dan penuh dengan rasa tanggung jawab didadanya. Selain itu, Ifan pun  bukan tipe laki-laki yang membosankan. Sepengetahuanku di kampus laki-laki maupun perempuan  yang mengenalnya, tak ada yang tak menyukainya. Itu, karena kepribadiannya yang ramah,cerdas, dan humoris.  

Setiap aku bertemu dengan Ifan, tiada hari tanpa "Tertawa" mungkin dia orang kedua yang suka membuat aku tertawa. Yang pertama adalah Imah, teman SMPku. Nanti kita cerita soal Imah. 

Ifan selalu mampu, merubah moodku menjadi ceria kembali. Bahkan dalam kondisiku yang tak lagi baik-baik saja. *

Waktu itu, di sebuah perkemahan.  Saat kami, mengadakan kemah kepimpinan islam. Di malam hari, aku tengah bersedih. Karena sebuah hal yang tak bisa kuceritakan. 

Lalu, Ifan datang membawa sebua gelas aqua plastik. 

"Kamu kenapa ngelamun sendirian? Awas loh! Nanti kesambet" katanya. 

Seperti biasa. Saat moodku kurang bagus,  Aku tidak terlalu menaggapi apa kata orang.  Aku diam saja. Namun, ekpresiku yang datar. Membuat Ifan memaksaku untuk tertawa. 

Dia memberiku  gelas aqua plastik . Lalu,   dia menggali pasir. Katanya,  buat game.  Soalnya di acara ini. Dia panitia, bertugas sebagai koordinator acara. 

"Ngapain dilihatin? Bantuin" katanya.  

"Bantu apa?"

"Itu pasir,  masukin ke gelas aqua!"

"Ah yang bener aje  Lu Fan. Moodku lagi jelek. Malah myuruh main main pasir" kataku. 

Apalagi,  pasir waktu itu sangat basah. 

"Ya, emang kalau mood gak bagus. Gak boleh ikut bantuin ngumpulin pasir?" Ucapnya. 

"Bukan gak boleh bantuin, tapi gak jelas. Ini pasir basah!" kataku. 

"Aku tahu, hati kamu lagi kering. Tapi bisa gak sih pasir yang basah ini buat nyiram hati kamu?" Katanya. 

Preett... sok tahu dia. *

Tuan,  masih ada yang ingin kuceritakan tentang Ifan. Teman baikku, di kampus. Insya Allah,  kami tak pernah berteman berlebihan. Kamu tak usah khawatir tuan. Aku akan selalu ingat, dengan  batasan yang ada dalam syariat islam. 

Besok kulanjutkan lagi cerita tentang Ifan, aku ingin tidur. Mataku sudah merah, aku amat mengantuk.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun