Aku tertawa. Lalu, kualihkan perhatianku ke arah jendela.Tiba-tiba kudengar suara alunan gitar yang demikian  merdu. Ternyata,  tangan Ifan, sudah gatal untuk memainkan gitar yang terletak disudut ruangan itu.Â
"Apa yang kamu lihat?" Tanyanya.Â
"Musiknya bagus" ucapku.Â
Lalu, menghadap arah jendela lagi.Â
"Oh, tentu. Apa sih yang gak bagus kalau ditanganku" katanya sambil tertawa.Â
Aku langsung menghadapnya. Sebuah candaan yang garing sebenarnya. Â Tapi, aku kaget. Karena melihat tampilan puisinya waktu tahap penyisihan. Aku punya ekpektasi tentangnya. Â Kukira dia laki-laki dingin yang tak banyak bicara, kecuali dengan untaian puisi sambil menikmati kopi. Â Aku tertawa tipis. Sekedar menghargainya. Â
"Puisi kamu, kemarin bagus. Apa filosopi kamu membuat puisi itu?" Tanyaku.Â
Dia langsung tertawa keras. Aku melototinya, sambil tersenyum. Â Dalam hatiku, bertanya-tanya. Apa yang salah dengan pertanyaanku?Â
"Kenapa tertawa?" Kataku, tersenyum heran.Â
"Bahasamu berat sekali. Pakai filosopi segala. Â Memang filosopi kopi?" Katanya, sambil memainkan senar gitarnya. Â Dengan wajah yang amat sumringah.
"Bukan, maksudku. Ketika kita membuat puisi, pasti ada hal yang menjadi inspirasi. apalagi  puisimu tadi amat indah ditelingku. Pasti ada sesuatu yang menginpirasi kan." Kataku. Â