Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Debaran Sinyal

5 April 2024   22:07 Diperbarui: 5 April 2024   22:14 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Id. Pinterest Indonesia/Vvttvvttu

Tuan, Aku tak tahu. Ini cerita keberapa yang kupersembahkan untukmu. Tak pernah juga kuingat, kapan pertama kali aku mengenalmu. Tapi, tuan Aku ingat kapan terakhir kali kurasakan debaran yang begitu dasyat. Hingga membuatku terngiang-ngiang dengan senyumanmu. Terngiang-ngiang dengan namamu.

 Debaran itu adalah debaran yang mengingatku selalu kepada kematian. Sebab tuan, setiap aku mengingatmu. Aku menjadi lebih ingat mati, ketimbang memilikimu. *

Waktu itu, 28 Februari di sebuah simpang aku tengah menunggu angkutan kota. Pipiku masih basah, mataku masih merah. Ya, tuan. Aku baru saja menangis. Menangisi anak konyol yang selalu membuat ulah. Dia adik laki-lakiku. Aku baru dari sekolahnya. Dia begitu nakal di sekolahnya. Sakin nakalnya, dia mendapat surat panggilan orangtua. Tapi, surat itu malah ia bakar. Lalu, pura-pura tak tahu apa-apa di depan orangtua. 

Akhirnya gurunya ke rumah, dan menyampaikannya langsung kepada Ibu. Ibu kecewa berat, sehingga tak mau ke sekolahnya. Sebab, ia tahu.  Ia akan dipermalukan. Jadi, aku kesana sebagai pengganti orangtuaku. Maklum tuan, aku anak pertama. 

Disana,  anak konyol itu membuat harga diri orangtuaku yang miskin di injak-injak. Sungguh, aku geram  dengan kelakuan adikku yang satu itu. Padahal, hanya dia anak laki-laki di rumah. *

Akhirnya angkutan kota tiba.  Aku maju  dan memberi tanda, bahwa aku ingin menaikinya. Angkutan kota itu berheti tepat di depanku.  Lalu, tiba-tiba debar yang amat dasyat kurasakan. Sungguh tuan, aku tak tahu aku sedang merasakan apa waktu itu. Suara murattal Al-quran yang tak tahu dari mana asalnya. Kedengaran di telingaku. 

"Arrahmann.." seperti suara Muzammil Hasballah. Qari terkenal itu tuan. 

Seorang gadis mendorongku.

"Kak mau naik gak sih? Cepetan!" Katanya. 

Aku pun langsung menaiki angkutan kota itu. 

Dudukku, tepat dibelakang sopir. Debar-debar yang kurasakan belum berhenti. Tiba-tiba napasku serasa sesak. Aku tak tahu, apa yang sedang kurasakan. Kupikir, mungkin malaikat maut sudah ada di dekatku. Sebab ini seperti mencekikku, tapi tidak juga. Entah apa!

Apa jangan-jangan aku terserang Palpitasi tuan?

Kuambil botol minum di tasku. Lalu, aku minum untuk menenangkan debaran yang dasyat ini. Namun tuan, tak berhenti juga. Bahkan, sampai air di botol itu habis kuminum.  

Sampai,  aku tak sengaja melihat kaca di depan sopir. Kulihat seseorang yang duduk di samping sopir.  Senyumnya amat indah. Rasanya tak asing wajahnya. Namun siapa?

Pikiranku berkelana tuan, mencari tahu siapa yang sedang kulihat ini. Bahkan saat kutatap senyumnya yang indah, debaran-debaran  itu berbuah serasa mengikuti melodi bunga-bunga yang menari-nari dihatiku.

Saat orang itu, turun di depan sebuah masjid. Baru aku sadar tuan. Ternyata itu, kau. 

"Naza!" Batinku. 

Tuan, itulah awal dimana aku mulai merasakan kenyataan dalam rasaku. Bahkan dalam mimpiku sekalipun, aku tak pernah berpikir kalau kita akan bertemu seperti ini. Sayangnya, kau tak kenal siapa aku. Sial memang. 

 Walau selama ini, tak pernah aku berharap bahwa Allah akan menghadiahkanmu padaku. Namun, sinyal-sinyal bahwa Allah menkadirkanku denganmu kurasakam tuan. 

Apa aku cuman berkahyal? Apa sinyal-sinyal itu hanya ilusi tuan? Kenapa setiap aku mengingatmu. Atau, aku sedang bertemu denganmu. Yang kudengar dan kulihat adalah latunan ayat suci, yang maknanya selalu kuanggap jawaban dari Alalh tuan.*

Tuan, debaran itu hadir. Tanpa kutahu maksudnya apa. Kalaulah, debaran itu hadir hanya karena ketampananmu saja. Tak mungkin aku merasakannya, bahkan sebelum kutahu kau ada di angkutan kota itu. 

Kalaulah aku mencintaimu hanya karenaparasmu yang tampan itu tuan. Ya tuan, aku akui kamu sangat tampan. Banyak  teman-teman perempuanku yang tergila-gila akan ketampanan wajahmu. Tapi, tuan kalaulah aku bisa mencintai hanya karena ketampanan fisik semata. Maka, seharusnya Rania lebih memilih Awan waktu itu. Sebab, Awan  jauh lebih tampan darimu. Ditambah lagi. Awan jelas-jelas mencintai Rania. Bahkan. Ia rela menjauh, demi kebahagiaan Rania semata.  Namun, Rania menolaknya. Sebab, wajah tampan tak bisa menjamin ridho-Nya Allah tuan. 

"Apa hubungan kamu mencintaiku bukan  karena ketampanan, dengan kisah penolakan Rania kepada Awan?" Tanya batinmu kan tuan?

Karena tuan, Rania adalah Zahra. Zahra adalah Rania. 

Paham kan tuan? Jika tidak. Maka, tak mengapa tuan. Mungkin kamu butuh waktu memahaminya. *

Tuan, saat kutahu kau ternyata adalah teman akrab musuh bebuyutanku. Aku lagsung berpaling tuan. Tak pernah lagi, aku berusaha megenalmu lebih dalam. Karena dalam batinku, apa bedanya kau dan dia. Biasanya teman dekat, punya prinsip yang sama kan?

Ya, tuan. Teman dekatmu itu adalah Hanif. Orang yang amat kubenci waktu itu. Sebab, tuan ia telah menzolimiku dengan kesadaran yang nyata. Sayangnya,  ia pura-pura tak bersalah. Andai, kau tahu tuan. Apa yang kurasakan saat kezoliman itu menghampiriku. Lalu, bagaimana mentalku waktu itu. Disebabkan oleh gengsi teman dekatmu itu tuan. Mungkin barulah kau paham. Mengapa aku sampai sebenci itu kepada Hanif.  Benciku padanya hampir setahun lamanya. Hingga, Allah menyembuhkan luka yang ada di hatiku pelan-pelan. Karena itu, aku bisa memaafkannya dengan lapang hati. Meskipun, sampai sekarang belum terlontar permintaan maaf dari mulutnya. Walau pun sampai sekarang, gengisnya masih di atas awan tuan.

Aku mulai mebangun pikiran positif tentangnya. Karena kulihat sisi kebaikan yang ada pada dirinya.  Namun tuan, jujur sebagai seorang perempuan. Aku masih tak bisa melupakan bahwa aku pernah mengganggap dia sebagai musuh bebuyutanku.  Luka yang ia berikan itu sangat dalam tuan. 

Itu sangat membunuh mentalku waktu itu. Jika, benar kau adalah teman dekatnya tuan. Tolong! suruh dia meminta maaf kepadaku. Sebelum, maut menjemputku atau menjemputnya. Karena takutnya, masalah kami itu malah terbawa-bawa ke akhirat nantinya. *

Tuan, aku menjadi akrab dengan Alisya sejak aku mengetahui kalau dia, diam-diam punya rasa pada Hanif. Aku dan dia menjadi terkoneksi saat sama-sama mengutarakan soal rasa. Sebab itu tuan, selain Aku dan Allah. Alisya juga tahu tentang rasaku padamu tuan. 

Sebetulnya,  aku tak pernah cerita terang-terangan kalau aku mencintaimu dalam diam.  Namun tuan, dia itu pekak. Ia lihat tanda-tanda rasa-rasa itu ada diantara kita. Sebab itu tuan, setiap aku menuliskan sebuah cerita. Hanya Alisya yang paham untuk siapa. Mungkin karena dia juga penulis kali yah? *

Tuan, 22 Agustus di sebuah desa, tempatku KKN. Tidurku dihiasi bunga tidur. Aku bermimpi kalau Aku dan kau bersanding di pelaminan. Aku memanggil ibumu, sebagai ibuku. Lalu, kau membantuku mencuci dan memasak. Sayangnya,  itu hanya mimpi. Aku terbangun,  dan menghirup udara KKN yang panjang. Udara yang jauh datimu. Udara yang membuatku merindukan ayah ibuku.*

23 Agustus,  disebuah acara pertemuan KKN Sekabupaten. Aku malah bertemu dengan Hanif sialan itu. Disebuah masjid, ia tengah duduk dengan Ifan. Sialnya tuan, aku tak sadar aku bersandar sangat lama dikaca masjid itu. Yang rupanya dibaliknya ada Hanif. 

"Zahra.." Ifan memangilku.

Aku berbalik arah. Lalu, kukihat dibalik kaca itu ada Hanif juga ternyata. Aku senyum dan melambaikan tangan kepada Ifan,  sebab dia temanku tuan. Tapi tidak, dengan Hanif.  Namun, ia malah tersenyum padaku. Senyumnya juga amat berbeda, kurasakan ketulusan di senyumnya itu tuan. Mungkin itu, yang membuatku memilih diam dari pada melabraknya dan mengajaknya berkelahi.*

Tuan, 31 Agustus di suatu malam dengan cahaya bulan yang amat terang. Aku dan teman-temanku baru saja pulang KKN Aku membawa koper, duduk di sebuah becak barang milik ayahku. Lalu, kau lewat dengan sepeda motormu. Kita berhadap-hadapan tuan. Kau tak sadar itu kan? Ka senyum kepada ayahku, yang mengendarai becak. Sementara aku, senyum melihat keramah tamahanmu. Bahkan kepada orang yang tak kau kenal. 

Sampai di rumah. Hujan deras, menimpa muka bumi. Aku dikamar sendiri.  Tiba-tiba lampu mati. Ayah dan ibu sudah tidurdi kamarnya. Begitu pula adik-adikku.   Aku menyalakan senter Hpku. Mencari buku yang mungkin bisa membuatku tertidur. 

Akhirnya kudapat buku itu, dan begitu terkejut aku tuan, saat ada sebuah ayat di buku itu yang membuatku seolah-olah terkoneksi sesuatu tuan. 


"Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di antara mereka. Allah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(QS. Al-Mumtahanah 60: Ayat 7)

Tiba-tiba aku malah mengingat senyumanmu ke ayah tadi tuan.  Sayang,  kau tak mengenalku.  Dan kau tak sadar,  sudah senyum kepada ayahku. 

Sialnya,Aku juga teringat dengan senyuman Hanif, waktu itu. Entah sinyal apa  yang telah diberikan Allah kepadaku. Belum aku tangkap waktu itu tuan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun