Dudukku, tepat dibelakang sopir. Debar-debar yang kurasakan belum berhenti. Tiba-tiba napasku serasa sesak. Aku tak tahu, apa yang sedang kurasakan. Kupikir, mungkin malaikat maut sudah ada di dekatku. Sebab ini seperti mencekikku, tapi tidak juga. Entah apa!
Apa jangan-jangan aku terserang Palpitasi tuan?
Kuambil botol minum di tasku. Lalu, aku minum untuk menenangkan debaran yang dasyat ini. Namun tuan, tak berhenti juga. Bahkan, sampai air di botol itu habis kuminum. Â
Sampai, Â aku tak sengaja melihat kaca di depan sopir. Kulihat seseorang yang duduk di samping sopir. Â Senyumnya amat indah. Rasanya tak asing wajahnya. Namun siapa?
Pikiranku berkelana tuan, mencari tahu siapa yang sedang kulihat ini. Bahkan saat kutatap senyumnya yang indah, debaran-debaran  itu berbuah serasa mengikuti melodi bunga-bunga yang menari-nari dihatiku.
Saat orang itu, turun di depan sebuah masjid. Baru aku sadar tuan. Ternyata itu, kau.Â
"Naza!" Batinku.Â
Tuan, itulah awal dimana aku mulai merasakan kenyataan dalam rasaku. Bahkan dalam mimpiku sekalipun, aku tak pernah berpikir kalau kita akan bertemu seperti ini. Sayangnya, kau tak kenal siapa aku. Sial memang.Â
 Walau selama ini, tak pernah aku berharap bahwa Allah akan menghadiahkanmu padaku. Namun, sinyal-sinyal bahwa Allah menkadirkanku denganmu kurasakam tuan.Â
Apa aku cuman berkahyal? Apa sinyal-sinyal itu hanya ilusi tuan? Kenapa setiap aku mengingatmu. Atau, aku sedang bertemu denganmu. Yang kudengar dan kulihat adalah latunan ayat suci, yang maknanya selalu kuanggap jawaban dari Alalh tuan.*
Tuan, debaran itu hadir. Tanpa kutahu maksudnya apa. Kalaulah, debaran itu hadir hanya karena ketampananmu saja. Tak mungkin aku merasakannya, bahkan sebelum kutahu kau ada di angkutan kota itu.Â