Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Belum Kau Tahu, Tentangku Tuan

27 Maret 2024   23:07 Diperbarui: 27 Maret 2024   23:07 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Id. Pinterest/DingDong

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Waktu berbuka puasa sudah tiba. Selamat berbuka puasa"

 Suara itu terdengar dari sebuah masjid, di dekat tempatku turun dari angkot 02, berwarna kuning, tuan. Aku langsung mengambil botol minum yang kubawa di tasku. Meski gerimis telah membasahi pakaianku. 

Namun, berbuka lebih penting untuk kudahulukan dibandingkan berlari mencari tempat berteduh. Aku membaca bismillah. Setelah itu, Kuminum air dari botol minum itu hingga menghilangkan dahaga di kerongkonganku. Aku pun membaca doa berbuka. 

Setelah puasaku sudah kubatalkan, Aku berjalan cepat untuk pulang. Menurutku, ini hanya gerimis biasa. Aku masih bisa melewatinya. Sampai,  saat aku berada di taman kota, hujan deras pun melanda. 

"Nak, jangan di hujan-hujan itu. Nanti kamu sakit." Seorang bapak, penjual makanan kaki lima menegurku. Ia tengah berteduh di tenda birunya. Aku tersenyum,  sambil lari untuk mencari tempat untukku berteduh. Karena rupanya, hujan yang amat deras ini telah melemahkan langkahku. Aku  terlanjur kedinginan. 

Aku berlari ke depan rumah makan yang sedang tutup.  Namanya, rumah makan madina. Berseberangan dengan sebuah gereja katolik di depannya. Masih dekat taman kota yang baru dibangun pemprov.

Disampingku, ada seorang penjual bakso bakar yang juga berteduh, ia tengah menikmati  nasi dan lauk di sebuah kotak makan yang ia bawa dari rumah. Lalu, di sampingnya ada seorang laki-laki paruh baya yang sedang main game online sambil menunggu redanya hujan, sepertinya dia non muslim. Kemudian, disamping rumah makan itu, ada tiga ruko berhimpitan. Disana, banyak sekali terparkir motor listrik. Kulihat, ada beberapa orang disana sedang berbuka puasa. 

Lantunan suara azan terdengar dari beberapa masjid.  Namun, hujan malah semakin deras. Suara desiran hujan yang mampir di atap seng rumah makan ini, membuat suasana semakin terasa sendu. Ditambah  lagi dingginya angin magrib. Membuatku memeluk kisah-kisah pahitku.  Membuatku hanyut dalam lamunaku tuan. Apalagi saat, kulihat penjual tukang bakso yang makan amat lahap.*

Aku teringat saat tadi aku berjualan.  Iya, tuan. Aku memamg berjualan, aku berjualan es doger bandung di depan kampusku. Entah karena ramadan, atau aku akan menjadi penjual es doger bandung di depan kampus itu sampai aku wisuda nanti. Aku tak tahu tuan. Yang pasti, aku memang, sedang berjualan disana. 

Itu bukan milikku, aku hanya menjualkannya. Bosku adalah seorang penjual lauk yang berjualan di sana juga. Mereka suami istri yang baik hati dan dermawan.  Bila nanti es hanya laku sedikit, mereka tak enggan memberiku uang tambahan. Merekalah yang memasak dan menyiapkan semua es itu. Sementara Aku, aku hanya penjual saja. 

Tuan, sore itu. Teman kampusku lewat, dari stand tempatku berjual es. 

"Kamu ngapain disini?" Katanya. 

"Jualan" ucapku. 

Lalu, ditatapnya aku dengan penuh sombong. Lantas dia berkata:

"Di semester ini, kamu masih mikirin jualan? Kalau aku sih mending mikirin bimbinganku" ujarnya. 

Nada bicaranya, membuat aku agak sedikit tersinggung tuan. Sebab, aku berpikir dia tengah merasa kalau aku sedang memikirkan bagaimana caranya mendapat banyak uang. Ia berpikir aku sedang tidak mau mengerjakan skripsi dan sedang membuang-buang waktu dengan uang. Padahal, dia adalah anak orang berada. Apa dia pikir mencetak  proposal tak butuh uang?  Atau apakah dia pikir datang ke kampus tiap hari tak butuh uang? Atau barangkali dia kira, untuk membeli semua perlengkapan syarat syarat bimbingan seperti surat penhajuan, map hijau dan semua alat-alat anak semester akhir itu tak butuh uang? 

Lalu, aku langsung menepis pikiran negatif itu. Aku tersenyum dan membiarkan ia pergi. Biasa, anak-anak orang berada pikirannya memang agak diluar logika. *

Tuan, semalam aku disini bertemu dengan Amel. Aku sebetulnya tak mengenal dia,  karena dia biasanya melabrakku  hanya lewat sosial media.  Seperti perkenalan kita kan? Allah mempertemukan aku dengan dia. 

Awalnya dia hanya lewat biasa, lalu ia lihat wajahku, kemudian dia melihatku dari atas sampai bawahku. Aku kira dia ingin pesan es doger bandung yang tengah kujual. Ternyata tidak, tuan.

"Kakak mau berapa?" Kataku. Mendengar itu, dia tertawa. Lalu,  melanjutkan perjalananya. Kemudian kudengar temannya yang dibelakang mmemanggilnya 

"Amel...Tunggu!" Seru temannya. Berlari-lari mengejarnya. 

Barulah ku kenal dia Amel tuan. Dia cantik rupawan. Namun, kenapa tadi dia menertwaiku tuan? 

Tuan, setelah kuanalisis. Aku memang tak layak untukmu. Bukan tanpa alasan si Amel menertawaiku, bukan tanpa alasan pula teman kampusku menghujatku. 

Aku memang sekilas terlihat seperti orang bodoh dan konyol. Tak cocok sama sekali denganmu. Tuan, ada hal yang belum kamu  tahu tentangku tuan. 

Tentang Aku, Zahra Zakiatunnisa. Orang yang mengagumimu dalam doa. Orang yang merasakan getaran saat mendengar namamu, meski pertemuan diantara kita hanya sebuah harap yang semu. Akulah Zahra tuan. 

Tuan, seperti yang pernah kubilang. Aku anak pertama dari 6 bersaudara. Ayahku seorang pengepul rongsokan.  Ibuku dia rela mencuci pakaian orang setiap hari, demi membiayai anak-anaknya. Kalaulah tuan,  waktu itu aku tak dapat besiswa keringanan uang kuliah. Maka, sudahlah. Kuliah hanya akan jadi mimpi semata bagiku. Namun Allah maha baik, tuan. Allah takdikan aku untuk kuliah. 

Dan Demi Allah tuan, saat pemilihan jurusan kuliah. Aku tak pernah berpikir kuliah untuk mendapat kerja. Menurutku kuliah itu adalah untuk menambah wawasanku. Untuk itu, aku pilih jurusan pendidikan agama. Sebetulnya, aku ingin menjadi madrasah untuk anak-anak kita kelak tuan. Jika tidak bisa, mana tahu aku bisa jadi guru anakmu dan anakku kan tuan. Hehehe... Meski, waktu itu aku belum mengenalmu. Tapi rencana menjadi pintar agama adalah to do listku sejak masih SMA tuan. 

Setelah hampir 3 tahun lebih aku berkuliah. Aku malah membuat ulah, dengan melawan seorang dosen korup yang gayanya cengengesan sok sok tak bersalah. Tapi, dia tuan sudah belasan tahun menyiksa mahasiswanya. 

Ternyata tuan, aku kalah. Maklum, waktu itu modalku hanya nekat. Aku tak punya bekingan apalagi dukungan. Tentu, kalah dengan dia dosen yang punya jabatan dan sudah dipromosikan gelar profesor. Apalagi kudengar-dengar buyut-buyut dari buyutnyalah yang medirikan kampus ini. Tentu aku kalah tuan. Karena itu, aku pun terpaksa harus mengulang satu semester lagi.  Hal ini membuatku terlihat seperti mahasiswa goblok. Barangkali, bagi orang-orang goblok tuan. 

Tuan, wajahku yang sangat standar dan tak pernah kupoles dengan riasan atau jenis-jenis skin care apa pun di muka bumi ini. Membuat auraku memang terlihat semakin goblok. Sekali lagi, aku terlihat goblok bagi orang-orang goblok mungkin.

"Sudah miskin, gak punya akhlak,  jelek lagi" ucap, dosen korup yang kulawan terang-terangan di kelas. Aku masih ingat, bagaimana ia melemparkan seluruh isi mejanya karena frustasi melawanku biacara. Sampai sampai di sistem akademik dia membuat nilai akhlakku Nol. Itulah nilai akhlakku baginya tuan. 

Tuan aku tak pernah berpikir bahwa standar kehebatan adalah kecantikan fisik. Tuan, tentu kau tahu. Kalau kecantikan bagiku, adalah saat aku telah mampu berbagi pada orang lain dari hasil keringatku tuan. Baik berbagi lewat materi atau segenap tenga yang kubisa. Sejak aku kenal islam, cita-citaku adalah menjadi orang yang bermanfaat.  Untuk itu, nanti aku mau menikah dengan orang yang tak memandang kecantikan fisik sebagai standar kebaikan. Karena aku tidak demikian kan tuan. Dan jujur, dalam benak hatiku paling dalam. Aku percaya, kau adalah orang yang selama ini Aku impi-impikan.

 Aku masih ingat bagaimana kau memberi alasan, kenapa tak bisa ikut dalam sebuah agenda kebaikan. Waktu itu, kau bilang kau tak sanggup karena takut hal-hal yang tidak Allah ridhoi terjadi. Padahal, tuan sebetulnya waktu itu. Aku tengah diam-diam berdoa kepada Allah. Agar kau tak ikut di acara itu. 

Karena jujur, menurutku acara itu adalah caraku untuk meromantisasi waktuku dengan Al-quran.  Jika kau ikut, barangkali aku tak akan fokus kan? Aku senang, kau tak ikut. Sebab, jika kau ikut, hal-hal yan tidak Allah sukai barangkali akan banyak terjadi. Atau memang belum saatnya kita bertemu tuan.* 

Aku masih disini, di depan rumah makan madina yang sedang tutup.  Hujan sudah mulai reda. Kutatap penjual bakso bakar yang belum selesai makan dari tadi. Rasanya aku ingin membeli baksonya, ingin kubawa dan kuberi pada adik-adikku. Tapi aku tak tega, menggangu abang tukang bakso itu yang sedang menikmati makannya dengan lahap. Aku pun berjalan. Lalu mundur lagi ke tempat yang tadi. Akhirnya aku membeli bakso bakar itu juga. Sebab, adik-adikku akan kecewa jika aku tak bawa apa-apa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun