Tuan, sore itu. Teman kampusku lewat, dari stand tempatku berjual es.Â
"Kamu ngapain disini?" Katanya.Â
"Jualan" ucapku.Â
Lalu, ditatapnya aku dengan penuh sombong. Lantas dia berkata:
"Di semester ini, kamu masih mikirin jualan? Kalau aku sih mending mikirin bimbinganku" ujarnya.Â
Nada bicaranya, membuat aku agak sedikit tersinggung tuan. Sebab, aku berpikir dia tengah merasa kalau aku sedang memikirkan bagaimana caranya mendapat banyak uang. Ia berpikir aku sedang tidak mau mengerjakan skripsi dan sedang membuang-buang waktu dengan uang. Padahal, dia adalah anak orang berada. Apa dia pikir mencetak  proposal tak butuh uang?  Atau apakah dia pikir datang ke kampus tiap hari tak butuh uang? Atau barangkali dia kira, untuk membeli semua perlengkapan syarat syarat bimbingan seperti surat penhajuan, map hijau dan semua alat-alat anak semester akhir itu tak butuh uang?Â
Lalu, aku langsung menepis pikiran negatif itu. Aku tersenyum dan membiarkan ia pergi. Biasa, anak-anak orang berada pikirannya memang agak diluar logika. *
Tuan, semalam aku disini bertemu dengan Amel. Aku sebetulnya tak mengenal dia,  karena dia biasanya melabrakku hanya lewat sosial media.  Seperti perkenalan kita kan? Allah mempertemukan aku dengan dia.Â
Awalnya dia hanya lewat biasa, lalu ia lihat wajahku, kemudian dia melihatku dari atas sampai bawahku. Aku kira dia ingin pesan es doger bandung yang tengah kujual. Ternyata tidak, tuan.
"Kakak mau berapa?" Kataku. Mendengar itu, dia tertawa. Lalu, Â melanjutkan perjalananya. Kemudian kudengar temannya yang dibelakang mmemanggilnyaÂ
"Amel...Tunggu!" Seru temannya. Berlari-lari mengejarnya.Â