Barulah ku kenal dia Amel tuan. Dia cantik rupawan. Namun, kenapa tadi dia menertwaiku tuan?Â
Tuan, setelah kuanalisis. Aku memang tak layak untukmu. Bukan tanpa alasan si Amel menertawaiku, bukan tanpa alasan pula teman kampusku menghujatku.Â
Aku memang sekilas terlihat seperti orang bodoh dan konyol. Tak cocok sama sekali denganmu. Tuan, ada hal yang belum kamu  tahu tentangku tuan.Â
Tentang Aku, Zahra Zakiatunnisa. Orang yang mengagumimu dalam doa. Orang yang merasakan getaran saat mendengar namamu, meski pertemuan diantara kita hanya sebuah harap yang semu. Akulah Zahra tuan.Â
Tuan, seperti yang pernah kubilang. Aku anak pertama dari 6 bersaudara. Ayahku seorang pengepul rongsokan. Â Ibuku dia rela mencuci pakaian orang setiap hari, demi membiayai anak-anaknya. Kalaulah tuan, Â waktu itu aku tak dapat besiswa keringanan uang kuliah. Maka, sudahlah. Kuliah hanya akan jadi mimpi semata bagiku. Namun Allah maha baik, tuan. Allah takdikan aku untuk kuliah.Â
Dan Demi Allah tuan, saat pemilihan jurusan kuliah. Aku tak pernah berpikir kuliah untuk mendapat kerja. Menurutku kuliah itu adalah untuk menambah wawasanku. Untuk itu, aku pilih jurusan pendidikan agama. Sebetulnya, aku ingin menjadi madrasah untuk anak-anak kita kelak tuan. Jika tidak bisa, mana tahu aku bisa jadi guru anakmu dan anakku kan tuan. Hehehe... Meski, waktu itu aku belum mengenalmu. Tapi rencana menjadi pintar agama adalah to do listku sejak masih SMA tuan.Â
Setelah hampir 3 tahun lebih aku berkuliah. Aku malah membuat ulah, dengan melawan seorang dosen korup yang gayanya cengengesan sok sok tak bersalah. Tapi, dia tuan sudah belasan tahun menyiksa mahasiswanya.Â
Ternyata tuan, aku kalah. Maklum, waktu itu modalku hanya nekat. Aku tak punya bekingan apalagi dukungan. Tentu, kalah dengan dia dosen yang punya jabatan dan sudah dipromosikan gelar profesor. Apalagi kudengar-dengar buyut-buyut dari buyutnyalah yang medirikan kampus ini. Tentu aku kalah tuan. Karena itu, aku pun terpaksa harus mengulang satu semester lagi. Â Hal ini membuatku terlihat seperti mahasiswa goblok. Barangkali, bagi orang-orang goblok tuan.Â
Tuan, wajahku yang sangat standar dan tak pernah kupoles dengan riasan atau jenis-jenis skin care apa pun di muka bumi ini. Membuat auraku memang terlihat semakin goblok. Sekali lagi, aku terlihat goblok bagi orang-orang goblok mungkin.
"Sudah miskin, gak punya akhlak, Â jelek lagi" ucap, dosen korup yang kulawan terang-terangan di kelas. Aku masih ingat, bagaimana ia melemparkan seluruh isi mejanya karena frustasi melawanku biacara. Sampai sampai di sistem akademik dia membuat nilai akhlakku Nol. Itulah nilai akhlakku baginya tuan.Â
Tuan aku tak pernah berpikir bahwa standar kehebatan adalah kecantikan fisik. Tuan, tentu kau tahu. Kalau kecantikan bagiku, adalah saat aku telah mampu berbagi pada orang lain dari hasil keringatku tuan. Baik berbagi lewat materi atau segenap tenga yang kubisa. Sejak aku kenal islam, cita-citaku adalah menjadi orang yang bermanfaat. Â Untuk itu, nanti aku mau menikah dengan orang yang tak memandang kecantikan fisik sebagai standar kebaikan. Karena aku tidak demikian kan tuan. Dan jujur, dalam benak hatiku paling dalam. Aku percaya, kau adalah orang yang selama ini Aku impi-impikan.