"Uang 700 ribu. Itu bukan hal yang murah, guru honorer saja gajinya hanya 200-300. Gimana kita mahasiswa yang belum kerja. Kita semua tanggungan orangtua" kataku. Terus-terusan aku bicara, meski mereka tak mau mendengarkannya. Â
Aku sebetulnya kerja sebagai penulis lepas. Namun, kutahu sembilan kawanku itu semua adalah tanggungan orangtu aku hanya ingin mereka sadar. Kalau mereka menyetujui kebijakan itu. Orangtua mereka lah yang menjadi korban. Lagi-lagi perkara sekolah, orangtua yang harus menanggungnya.Â
Tapi mereka memang tidak peduli. Biar bagaimana pun yang magang kan mahasiswa. Kenapa orangtua mereka yang harus dilibatkan? Terlepas dari apa pun pekerjaan orangtuanya. Kalau orangtuanya yang bayar. Itu namanya kontrubusi orangtua, bukan mahasiswanya. Meskipun, Aku tidak percaya kontribusi harus selalu berbentuk uang.Â
"Utusan dari kementrian pendidikan sudah datang. Silahkan semua guru dan mahasiswa magang ke Aula" kata security. Â
Aku langsung pergi ke Aula, kulihat bapak-bapak utusan mentri itu. Aku harus bicara padanya. Seperti biasa, sembilan temanku melototiku dengan tajam mereka ingin membungkamku lagi. Tidak kali ini Aku harus mengeluarkan pendapatku. Â Meskipun aku orang miskin, Aku harus hidup di komplek orang kaya ini. Aku harus bisa bernapas dengan leluasa.Â
"Izin Bicara Pak!" Kataku pada utusan menteri itu. Sembilan temanku itu melototi ku dengan tajam terus-terusan. Â Kali ini wajah mereka memerah. Â Dan sekujur tubuh mereka dibasahi keringat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H