"Mau dia korupsi atau apa pun. Itu bukan urusan kita. Kita diam saja. Terutama kamu Fa, kamu jangan buat masalah" kata Ashimi.
"Tapi ini harus jadi urusan kita. Kita yang dijadikan alat mereka, Â buat korupsi. Kita berhak untuk melawan. Itu hak kita" kataku lagi.Â
"Fa, kamu bisa gak sih diam aja. Biarin mereka mau ngelakuin apa pun. Kamu gak usah sok-sok jadi orang benar." Celoteh Isma.Â
"Tapi teman-teman aku gak bakal sanggup kalau bayar uang segitu, apalagi dalam waktu dua pekan. Â Apalagi aku pun masih belum bayar uang kuliah" kataku, Â suaranya agak merendah dan meminta dikasihani. Â
"Kalau kamu masih mau aman kuliah, kamu usahin aja uangnya. " Sambung Isma lagi.Â
Rasa-rasanya Aku ingin memanjat keluar dari sangkar elit ini. Mereka membatasiku dengan sesuka hati. Aku bicara sedikit saja, mata sembilan orang itu selalu melototiku. Â Mereka tampak merasa kalau aku hanya seorang pembuat masalah. Tak pantas untuk bicara.Â
Atau barang kali, mereka sebenarnya tak menganggapku ada di dunia ini. Nyesek sekali berada disini. Â Kenapa Tuhan menempatkan Aku disini? Aku hanya ingin hidup tenang. Ingin diberikan kebebasan kalau bicara.Â
Lantas karena Aku kalah melawan koruptor. Apakah aku yang salah? Sedang koruptor itu yang membuat masalah? Ia menang karena uang dan jabatan yang ia punya. Tapi ia sama sekali tak menang di hati Tuhan. Setidaknya Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk.Â
....................
Siang itu, kudengar utusan dari menteri pendidikan akan berkunjung ke seolah elit ini. Ini kesempatanku untuk meminta keadilan. Setidaknya jika menag Aku harus memberi sumbangan kepada sekolah orang kaya ini. Uangnya tidak terlalu mahal. Mungkin kalau tiga ratus atau dua ratus. Aku masih bisa mengusahakan. Walau pun tindakan kepala sekolah itu tetap sebuah pemerasan. Â
Coba katakan padaku. Apa ada peraturan yang membuat kebijakan kalau mahasiwa magang harus memberikan uang pada pihak sekolah, baru diberikan nilai? atau pernah kamu dengar, undang-undang tentang kontribusi anak magang adalah uang?Â