Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Izin Bicara Pak!

6 Februari 2024   21:26 Diperbarui: 6 Februari 2024   21:26 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barang kali,  mereka masih mengingat-ngingat kejadian satu tahun yang lalu. Waktu Aku melawan seorang koruptor, dan Aku kalah. Sialnya, Malah aku yang disalahkan oleh semua pihak. Sejak itu, Aku tidak disukai banyak orang. Barangkali  teman-teman sekelompokku juga demikian. Mereka  enggan untuk mendengarkanku bicara.  

Kadang-kadang kurasa dunia tidak adil. Aku hanya ingin menyampaikan pendapatku. Tapi entah kenapa di tempat ini Aku seolah dibungkam oleh banyak keadaaan. Seolah mereka mematikan mikrofonku.  Tak mereka bolehkah, suara itu terdengar kemana pun. 

"Guys, coba deh pertimbangan lagi. Duit segitu banyak banget loh. Kita gak mungkin sanggup. Apalagi dalam waktu 2 pekan." Ucapku lagi. Kali ini kami berada di ruang guru. Guru-guru sudah berpulangan.  

"Terus mau gimana, itu kan perintah kepala sekolah. Nanti kalau gak kita turutin nilai kita diapa-apain gimana?" Sahut Azura.  Setidaknya,  kali ini mereka mendengarkanku. 

"Kita kan masih bisa menawar, setidaknya jangan sampai segitu banyak." Kataku. 

"Mau menawar apa mau melawan? Kamu jangan banyak tingkah Fa, kamu gak ingat gimana kejadian kamu tahun lalu? Kamu kan yang kalah" tiba-tiba Siti bicara dengan nada menggas.

"Lagian 700 ribu gak mahal-mahal banget sih. Kita masih bisa buat bayar itu. Jadi kamu siapin aja uangnya" Sambung Ashila. 

Aku memang konyol, Aku lupa mereka sembilan kan anak orang kaya. Ya, meskipun beberapa orang gak kaya-kaya amat. Seenggaknya mereka berkecukupan. Uang segitu mah, masih kecil buat mereka. 

Sementara Aku? Duit segitu udah bisa untuk bayar SPPku.  Maklum, Aku anak beasiswa pengurangan ukt. Uang kuliahku adalah yang termurah. Hanya sekitar lima ratus ribu. Meski uang kuliahku murah, tapi bukan berarti Aku tidak puyeng. Aku hanya anak seorang pengepul rongsokan yang bertahan mati-matian demi mendapatkan gelar sarjana.  Berharap suatu hari nanti, Aku bisa menaikan derajat keluargaku. 

Duit segitu. Bagiku bukan hal yang murah. Apalagi dikumpulkan hanya dalam dua pekan. Ini tak masuk logikaku.  Ditambah lagi, Aku suka baca artikel tentang tindakan pemerasan. Kukira kasus itu, sama dengan kasus yang kualami. 

Mahasiswa sepertiku, tak seharusnya mendapatkan tuntutan itu. Karena jika kepala sekolah ingin kontribusi.  Bukankah Aku dan teman-teman sudah banyak berkontribusi disini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun