Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gramsci dan Foucault: Membaca Gender dalam Pusaran Postkolonial

6 November 2023   07:48 Diperbarui: 6 November 2023   08:16 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberlangsusngan hegemoni kultural tersebut, sehingga kolonialisme menggambarkan timur dengan ukurannya sendiri. Kolonialisme Eropa/Barat sebagai subjek otoritatif dalam menjelaskan Timur, sementara Timur (bangsa jajahan) dipandang sebagai objek yang pasif, tak mampu untuk menafsirkan dirinya sendiri. Oleh karena itu bangsa Timur adalah "the other" dalam pandangan mereka.

Dalam penggambaran kolonialisme terhadap bangsa jajahan itulah, yang kemudian direspon oleh para kritikus postkolonial. Barry menuturkan[11]: "Adanya penolakan penggambaran dunia Timur (bangsa jajahan/the other) yang dilakukan oleh Barat (bangsa kolonialis) lantaran penggambanran tersebut kerap memuat ketimpangan dan stigma yang buruk seperti dunia Timur yang digambarakan dengan sifat irasional, tidak bermoral, punya peraaan inferior dan sebagaianya".

Lewat penggambaran dunia Timur oleh kolonialisme, serta relasi kuasa dan penyebaran hegemoni dalam penerapan idelogi mereka, yang berimplikasi terhadap penafsiarn mereka kepada perempuan Timur. Dan mereka berhak menyelamatkan perempaun Timur dengan melakuakn penyebaran idelogi mereka, agar perempuan Timur maju dan berkembang. Oleh karena itu, kolinialisme menawarkan gagasan, bentuk budaya, etika untuk diterapakan kepadanya.

Bagi kolodialisme, Timur tidak memiliki arti apa-apa. Mereka bangsa Timur tidak bisa menjelaskan identitas dirinya, Timur bukan realitas, hanya metafora yang mengalami keterbelakangan. Mereka tidak bisa membangun perdabannya sendiri, ia membutuhkan Eropa/Barat sebagai penolong mereka. Oleh karena itu kolonialisme, berkuasa atas dunia Timur. Said menuturkan [12]: "Menjadikan Timur layaknya papan tulis, yang jejak jejaknya bisa dihapus, agar kita bisa tinggal di sana dan memaksakan nilai-nilai kita untuk diikuti oleh mereka, orang-orang tinggal di dalamnya".

Agar Timur mendapatkan identitas baru. Yakni, identitis dan nilai-nilai dari kolonialisme Barat, karena bagi kolonialisme menganggap timur sebagaimana apa yang dinyatakan Said [13"Karena konstruksi identitas hampir selalu melinatkan konstruksi antitesis dan other yang terus menjadi objek interprestasi, maka sudah bisa ditebak, sebagai suatu konstruksi identitas yang menururnya hampir semi-mitos , Timur dianggap sebagai "yang lain" , "other' dan liayan" bagi Barat".

Pemikir postkolonial yang lain Spivak melihat bahwa efek penjajahan oleh kolonialisme berdampak pada kekerasan epistemik. Yang disebutnya "subaltren" [14] menurtutnya kekerasan epistemik ini bisa dipahami sebagai kondisi di mana konsep-konsep dan sistem-sistem pemikiran ditentukan atau distruktur oleh bentuk-bentuk pengetahuan atau kepentingan-kepentingan kaum kolinialis/dominan.

Melalui analisis Spivak kita bisa melihat bagaimana bangsa Timur (yang dijajah) dibentuk sedemikian rupa oleh kolonialis dalam berbagai bentuknya. Terutama dalam kebudayaan dan identitas. Kolonialis memiliki defenisi sendiri mengenai dunia Timur untuk melancarakan hegemoninya. Tokoh postkolnial Frantz Fanon [15] melihat bahwa, definisi kolonial terhadap Timur melalui ras dan entitas ini terjadi lewat praktik kolonialis, di mana bangsa penjajah melakukan konstruksi terhadap identitas kaum atau bangsa jajahan (pribumi).

B.II. Pembantukan Gender dalam Kolonialisme

Salah satu tokoh sentral postkolonial yakni, Bhabha yang meneliti bagaimana proses kolonialisasi terhadap dunia Timur oleh penjajah melalui psikoalis dan psikiatri yang ia kembangan dari pemiir terhadaulu Fanon dan Lacan [16]. Hasilnya dua istilah tersebut lahir untuk menjelaskan proses kolonialisasi itu yang disebutnya mimikri dan hibrida.

Bagi Bahbha, mimikri adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan proses peniruan yang dilakukan oleh bangsa atau masyarakat bekas jajahan terhadap bangsa kolonialis (penjajah). [17] dalam proses mimikri, peniruan terjadi bukan hanya berlangsung pada kebudayaan, namun keseluruah lingkup kehidupan bangsa yang dijajah. Dari proses tersebut, terjadilah indentitas dari masyarakat sipeniru (jajahan) yang disebut hibrida.

"Hibrida bisa dikatakan adalah bentuk lain dari mimikri. Atau dengan kata laian, mimikri menjadi dasar sebuah indentitas hibrida. Dengan adanya mimikri yang dilakukan oleh bangsa koloni atau masyarakat bekas jajahan, maka budaya asli masayarakat jejahan menjadi bercampur dengan budaya kolonialis (penjajah). Dengan kata lain hibrida adalah pencampuran budaya antara budaya bangsa kolonialis dengan budaya masyarakat jajahan", tandas, Yusuf Lubis [18]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun