Diskursus wacana kolonial menjadi bahan analisis gender setelah upaya gerakan feminisme gelombang pertama dan kedua [1] tampil kepublik menyuarakan hak-hak perempuan. Kajian postkolonial dalam analisis mengenai gender, hampir bersamaan dengan kemunculan gelombang ketiga gerakan feminisme [2].
Lebih jauh, wacana kolonial lebih menekankan bahwa bagaimana proses kolonialisme terjadi dalam Negara jajahan dengan model baru. Artinya, suatu Negara yang dijajah bukan lagi menggunakan senajata api, kekerasan fisik atau sejenisnya. Namun, ia melalui gerakan kultral, politik, dan identitas diri. Dengan katal lain, wasterniasi tehadap Negara jajahan termaksud di dalamnya gender.
Oleh karena itu, bukan berarti bahwa penjajahan telah berhenti setelah usainya perang dunia satu dan dua. Dan memberikan kemerdekaan pada bangsa yang dijajah. Namun, dalam kajian poskolonial, penjajahan itu tetap berlanjut dengan tampilan yang baru.
"Apa bila dulu bentuk penjajahannya dalam bentuk penaklukan dan penjarahan (mengambil harta sumber daya alam dari bangsa jajahan), kini bentuk jajahannya berupa penjajahan ekonomi, sosial-budaya dan pemikiran di mana bentuknya lebih bersifat tak "kasat mata",[3] tandas Yusuf Lubis.
Blauner menuturkan bahwa kolonialisasi dapat diterapkan dalam tiga bentuk [4] yakni, pertama, kolonialisasi dalam bentuk masuknya satu kelompok dominan yang kemudian mensubordinasikan kelompok lain. Kedua, kolonialisasi dalam bentuk penghancuran faktor-faktor kultural bangsa jajahan. Ketiga, kolonialisasi dalam bentuk penataan suatu sistem ekonomi dan sosial berdasarkan atas hak istimewah kaum kolonalis atau bangsa penjajah.
Yang utama dari pembahasan ini adalah, bagaimana proses kajian poskolonial melihat penjajahan baru ini dengan model yang sangat halus dalam melancarkan aksinya. Bagaimana kolonialisme baru ini memasuki negara-negara jajahannya guna menguasai bangsa dan masyarakatnya, lebih khusus lagi dalam penerapan gender. Dan bagaiaman gender diterapkan sebagai upaya kepahlawanan kolonialisme dalam membela masayarakat yang dijajahnya
Oleh karena itu, tulisan ini membahas pertama tentang diskursus wacana kolonial. Bagaiamana karakteristiknya, proses cara kerjanya dan hal apa saja bentuk-bentuknya. Kemudian para pemikir poskolonial yang terlibat dalam kritik mereka atas budaya kolonial. Yang kedua, tentang bagaimana kolonialisme dengan gaya baru ini, melancarakan jajahanya pada wacana gender bagi bangsa lain dengan modus menyelamatkan perempuan.
A.I. Wacana Postkolonial
Kajian poskolonial tidak terlepas dari pengaruh tori kritis seperti, postmodernisme, konstruktivisme, dan juga beragam teori kritis konstemporer. Bagi pera pemikir ini, ilmu pengetahuan itu tidak terlepas dari kepentingan (tidak bebas nilai), ilmu pengetahuan juga bersifat konstruktif (paradigmatik), dan selalau terkait dengan sosial-budaya (historis) [5]. Pandangan merea ini, yang membedakannya dari arus utama pemkiran modern positivisme.
Hal itulah yang mempengaruhi para kritikus pemikir postkolonial yakni, Edward Said (m. 2003), Gayatri C. Spivak, dan Homi K. Bhabha. Tujuan mereka membongkar modus kolonialisme dalam menafsirkan dunia Timur sebagai jajahannya (kolonial), dan sekaligus menerapkan ideologi mereka. Guna mengusasi bangsa jajahan. Kolonialisme mencoba mengusasi dengan menerapkan budaya mereka kepada bangsa jajahan.