**
Empat anak muda duduk berjajar menghadap cakrawala. Semburat jingga mendominasi atmosfir di hadapan mereka yang membelakangi gelap di sisi lainnya. Hamparan keemasan mewarnai pucuk-pucuk pohon yang tampak merayap lambat menyisakan warna kelabu.Â
Sigit dan Riko sibuk ber-selfie ria dengan tongsisnya. Woro merapatkan duduknya pada Wanto yang menyambut dengan rentangan tangan. Mereka membalas lambaian sang surya pada penampakan terakhirnya di ujung hari.Â
"Semoga saja tetap seperti ini," ucap Woro dalam sandarannya.Â
"Ya, enggak mungkin. Gelap akan selalu ada," sanggah Wanto, pelan.
"Aku berharap, dataran kecil ini tidak menampakkan kerlip lampu-lampu. Biarkan tetap luas terpampang, alami." Woro menegaskan ucapannya. Tanpa make up, wajah lonjongnya tampak hitam manis dengan hidung bangir dan alis tebalnya.
"Owh, setuju. Lampu-lampu membuat cahaya hakiki berangsur lenyap. Mestinya gelap di permukaan bumi cukup berhias taburan bintang. Tapi ... cukuplah satu bintang buat aku," kata Wanto tersenyum sambil menekan dagunya pada ubun-ubun kekasihnya.Â
Sigit memperlihatkan hasil mengintainya, "Coba perhatikan," ucapnya pada Woro.
"Ini sebelah mana?" tanya Woro penasaran.
"Itu! Sekarang mulai memudar," jawab Sigit menyesalkan garis pada langit sebelah kiri mereka yang tak lagi utuh.
"Spektrum cahaya emas. Bidadari sudah membereskan anak-anaknya dengan membawa mereka masuk ke ruang kaputren ... katanya, sih." Woro menanggapi dengan semringah.