Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Diksi yang Jarang Digunakan

30 Oktober 2022   16:55 Diperbarui: 8 Desember 2022   20:47 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Bahasa dan Sastra 2022 telah menjadi momentum yang tepat bagi segenap rakyat Indonesia untuk mengadakan acara-acara dalam rangka meningkatkan kesadaran dan kematangan berbahasa. Tidak hanya sekolah-sekolah,  para pegiat literasi,  acara bertemakan bahasa dan sastra juga diselenggarakan di pemukiman-pemukiman.

 

Ada saja ide kreatifitas yang tampak dalam acara-acara tersebut. Seperti Puisi, yang dipadukan dengan seni lainnya. Para peserta yang tampil membawakan puisi dengan iringan permainan gitar, keyboard, suling dan lainnya. Ada juga yang sambil teatrikal, bahkan berkelompok membawakan satu karya puisi.

Kali ini saya pribadi juga ingin berperan serta dalam menyemarakkan Bulan Bahasa 2022 dengan menampilkan puisi yang menggunamengabari lama, diksi-diksi yang jarang lagi digunakan akhir-akhir ini. Langsung saja, selamat menikmati.

Kau hebat! Ibuku


Nyenyat malam membawa bayang seraut wajah halim

Tampak afsun memancar dalam bujut kulitmu

Getis! Ranyah menanti kedatanganku

Ibu, ijinkan aku menoreh kata tentang mu


Sebelum terajun oleh bena keangkuhanku

Bingkai foto usang itu bercerita betapa sabar kau selama ini


Kau tahan latah dan amarah ketika aku campakkan dot dan alat sulam sambil tertawa

Kau umbar senyum dalam ketakutanku ketika pulang sekolah seragamku tak lagi putih merah


Saat putih biruku lusuh, tengik

Kau tak bertanya darimana, tapi kau suruh aku ke meja makan

Teringat olehku ketika pulang tengah malam, kau bangun terhuyung menuju dapur untuk menghangatkan masakan, namun aku langsung tepar di kursi depan, masih dengan putih abu-abu


Masih belum menyerah


Aku pergi tanpa berita dan jarang mengabari 

Dalam penantian, kau rajut sulam untuk perjumpaan


Kau seakan menjura memberi serbet kumal itu ketika kebanggaan meliputi recehan yang ku lempar di reot meja makan


Kini, aku hanya bisa mencuci muka, merayapi bayang wajah mu, tak semili-pun ku lewati bujut raut bergurat kesabaran, pedih yang tak lagi bisa kau sembunyikan


Ibu, ijinkan aku jujur kepadamu

Anggara ku begitu besar namun kau bagal! Bergeming 

Ijinkan aku jujur, ibu

Sebelum terajun oleh bena zaman

Wiyata mu tiada akhir

Ma'afkan aku 

Ma'afkan aku

Ma'afkan aku, Ibu

Bekasi 2022

Demikian puisi dengan diksi lama yang jarang digunakan. Sampai jumpa lagi di puisi berikutnya. 

Sekian 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun