Menilik jauh ke belakang sejarah, kita dipertemukan dengan adanya istilah penyair kerajaan, yang bisa ditelisik perannya yang turut dalam menentukan arah kehidupan. Sebut saja Enheduanna, putri kerajaan era Mesopotamia, Lord Tennyson di kerajaan Inggris, dan sebutan Mpu pada kerajaan-kerajaan di Nusantara. Para seniman tersebut bisa mempengaruhi alur sejarah seperti para ilmuwan, penemu teknologi terkini. Mereka mendapatkan penghidupan dari kerajaan seperti halnya royalti sebagai bentuk lain dari penghargaan.
Â
Para seniman masa lalu tidak jauh berbeda dengan sekarang ini, di mana karya menjadi tolak ukur kematangan berpikir. Mereka menjadi rujukan dalam menentukan kebijakan, seperti Leonardo da Vinci, Henk Ngantung, dan lainnya. Yang membedakannya hanyalah pandangan politik, kekuasaan, yang telah banyak menyingkirkan pandangan hidup filosofis, beragama, budaya, dan pandangan hidup lainnya.
Â
Meskipun telah banyak bertebaran pengasah, pembentuk para seniman di penjuru negeri dengan adanya mata pelajaran, ekskul, sanggar, dan sebagainya, tapi sebutan seniman masih terngiang sebagai orang yang hidup meng-awan, belum membumi kecuali sekedar kilatan saja.
Â
Mereka masih terseok-seok mempertahankan "ideologi seni" menurut pandangan subyektif masing-masing individu. Masih mengejar pengakuan khalayak ramai tanpa mempedulikan berapa banyak yang ia korbankan dan berapa yang didapat. Para seniman dan yang mengaku seniman terus berjuang untuk kembali menjadi bagian dari sejarah yang direbut atas nama teknologi, ilmiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H