3. Standar Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan: Skema ISPO Indonesia
Indonesia, produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, telah menghadapi kritik atas dampak lingkungan dari industri minyak kelapa sawitnya, khususnya kontribusinya terhadap deforestasi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membentuk skema sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO)  pada tahun 2011. Skema wajib ini bertujuan untuk mempromosikan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan dan memastikan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan nasional, termasuk moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut.
Standar ISPO mencakup berbagai aspek keberlanjutan, termasuk kepatuhan hukum, pengelolaan perkebunan, perlindungan lingkungan, hak pekerja, dan tanggung jawab sosial. Untuk memperoleh sertifikasi, produsen minyak sawit menjalani audit pihak ketiga dan harus menunjukkan kepatuhan terhadap kriteria ISPO.
Meskipun berpotensi mendorong peningkatan keberlanjutan di sektor minyak kelapa sawit, ISPO telah menghadapi kritik:
- Kurangnya Independensi:Â Kekhawatiran telah berkembang tentang independensi proses sertifikasi, karena Komisi ISPO, badan pemerintah, mengawasi akreditasi lembaga sertifikasi dan penerbitan sertifikat.
- Transparansi Terbatas:Â Informasi tentang perusahaan bersertifikat dan fungsi sistem ISPO terbatas, sehingga sulit menilai efektivitas dan kredibilitas skema.
- Penegakan Hukum yang Lemah:Â Sifat sistem ISPO yang terdesentralisasi dan kurangnya sanksi yang jelas terhadap ketidakpatuhan telah menghambat kapasitas penegakannya.
- Manfaat Pasar yang Tidak Jelas: Â Standar ISPO tidak diakui secara luas di pasar internasional, sehingga membatasi kemampuannya untuk menyediakan akses pasar dan harga premium untuk minyak sawit bersertifikat.
Pemerintah Indonesia merevisi standar ISPO pada tahun 2020 untuk mengatasi beberapa kekurangan ini, memperkuat independensi proses sertifikasi, meningkatkan transparansi, dan memperluas mandatnya untuk mencakup petani kecil. Namun, efektivitas ISPO yang direvisi masih harus dilihat.
4. Formalisasi Penggunaan Lahan: Konsesi Agroforestri Peru
Peru, yang merupakan rumah bagi hutan hujan Amazon terbesar kedua setelah Brasil, telah mengalami penggundulan hutan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, yang utamanya disebabkan oleh perluasan pertanian skala kecil. Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap penggundulan hutan ini adalah kepemilikan tanah yang tidak aman bagi petani kecil. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Peru memperkenalkan instrumen hukum yang inovatif pada tahun 2011: Konsesi Agroforestri (AfC)Â .
AfC memberikan hak penggunaan lahan formal kepada petani kecil yang menempati lahan hutan publik di Amazon Peru. Konsesi ini, yang berlaku hingga 40 tahun, memberi insentif kepada petani untuk menetap dan berinvestasi dalam praktik pengelolaan lahan berkelanjutan, termasuk menghindari penggundulan hutan, melestarikan hutan yang ada, dan mengadopsi sistem agroforestri.
Program AfC bertujuan untuk:
- Kepemilikan Lahan yang Aman:Â Memberikan petani pengakuan hukum atas hak atas tanah mereka, mendorong investasi jangka panjang dalam penggunaan lahan berkelanjutan.
- Cegah Deforestasi:Â Kurangi pembukaan hutan dengan memberi insentif kepada petani untuk melestarikan hutan yang ada dan memanfaatkan lahan secara berkelanjutan.
- Mempromosikan Agroforestri: Â Dorong penerapan sistem agroforestri, yang mengintegrasikan pepohonan dan tanaman, meningkatkan keanekaragaman hayati, memperbaiki kesehatan tanah, dan menyediakan aliran pendapatan alternatif bagi petani.
Meskipun program AfC menjanjikan pengurangan deforestasi dan promosi pertanian berkelanjutan, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan:
- Adopsi Lambat:Â Proses pendaftaran dan biaya tahunan yang terkait dengan AfC dapat menjadi rumit dan mahal bagi petani, sehingga membatasi penyerapan mereka.
- Manfaat Ekonomi Terbatas:Â Para petani ragu untuk menerima AfC karena kurangnya manfaat ekonomi yang jelas, seperti akses ke keuangan, bantuan teknis, dan pasar.
- Penegakan Hukum yang Lemah:Â Tantangan dalam menegakkan peraturan zonasi hutan dan memerangi perdagangan tanah telah melemahkan efektivitas program.
Untuk mengatasi tantangan ini, Peru menerapkan langkah-langkah untuk menyederhanakan proses pendaftaran, menyediakan pengembangan kapasitas bagi petani, dan memperkuat penegakan hukum. Pemerintah juga mengakui pentingnya menciptakan insentif bagi pertanian berkelanjutan, seperti akses ke keuangan dan pasar untuk produk agroforestri.