White Nights memberi kita sebuah pandangan seseorang kesepian yang ingin dicintai dan memberikan apapun (walau itu menyakiti perasaan cinta kita) ke orang yang kita cintai. Pikiran bahwa sebetulnya kita hanya dijadikan pelarian dan cadangan pada akhirnya terbutakan oleh ilusi pengorbanan untuk cinta. Si Pengkhayal sebetulnya tahu hubungan mereka tidak akan berjalan dengan baik dan bahkan hanya bertepuk sebelah tangan.
"Tanganmu dingin, tanganku membara. Betapa buta dirimu Nastenka!...Oh, betapa menjengkelkannya orang yang sedang bahagia itu sewaktu-waktu! Tapi aku tak bisa marah padamu!"Â
Ucapan batin yang terucap oleh Si Pengkhayal tadi adalah sebuah contoh konflik batin yang disajikan Dostoevsky dalam White Nights. Kecerdasan Dostoevsky menggambarkan pertentangan psikologis tokohnya membuat kita merasa berayun tinggi, dari kesunyian dibawah lalu terhempas keatas oleh harapan dan diakhir cerita kita dijatuhkan lagi ke dalam jurang kehampaan.
KesimpulanÂ
Walau bukan cerita yang berakhir bahagia, kita dapat mengambil sebuah arti sebenarnya dari setiap pertemuan, setiap pengorbanan, dan juga setiap momen yang mengandung makna. Pada akhirnya walau kita si pembaca menyumpahi si Nastenka tetapi respons Si Pengkhayal ketika mendapat kabar Nastenka akan menikah dengan pria pujaannya adalah yang terpenting.
Si Pengkhayal walaupun jatuh sakit karena sakit hati, tidak pernah mengutuk perbuatan Nastenka maupun menyesali perbuatannya membantunya menemui pria yang dicintainya.
Memang tidak ada pembuktian juga ini sebagai cerita pertama dalam dunia sastra tentang seorang Backburner atau Second Choice. Namun yang ingin saya katakan di akhir bahwa Dostoevsky benar-benar bajingan dalam menulis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI