Rasa kurang diri ini tercipta dari ketidakmampuan dirinya untuk mencintai dirinya dan menganggap dirinya kurang hingga dia harus mengambil dari dunia luar apa yang dimiliki orang lain hanya untuk dirinya sendiri.
"Orang yang egois tidak hanya membenci orang lain tapi juga membenci dirinya sendiri", (Erich Fromm).
Maka sebenarnya syarat baiknya hubungan dengan orang lain adalah baiknya hubungan dengan diri sendiri. Hubungan intrapersonal menjadi tonggak hubungan interpersonal. Semakin kita menjadi diri kita, mencintai diri kita, dan menerima diri kita seutuhnya maka kita dapat mencintai orang lain.
Narsisme Berkedok Cinta
Lalu bagaimana jika kita menjalin hubungan dengan orang lain tanpa mencintai diri terlebih dahulu? Maka sebenarnya kita menjalin hubungan narsistik yang haus akan validasi dari pasangan, ingin terus dilayani, dan pokoknya ingin diutamakan tanpa mau memberi serta melengkapi. Narsisme sendiri sangat erat kaitannya dengan egoisme yang telah kita bahas sebelumnya.
Narsisme membuat orang merasa dirinya spesial dan layak diperlakukan istimewa. Pada hubungan asmara yang berlandaskan narsisme, satu atau dua pihak merasa harus diperlakukan bak ratu atau raja oleh pasangannya. Ingin selalu dimengerti tapi tidak mau mengerti. Pada akhirnya ada yang menjadi pihak pasif dan terjalinlah suatu hubungan toksik yang tidak membangun.
Narsisme ini berasal dari alam bawah sadar yang tidak mencintai dirinya sehingga perlu ada pihak luar yang menegaskan hal tersebut.Â
Jika memakai teori piramida kebutuhan Abraham Maslow, terdapat kebutuhan cinta yang dibagi menjadi D-Love & B-Love.Â
D-Love adalah deficience of love atau kekurangan akan cinta yang haus akan kasih sayang serta validasi sedangkan B-love atau being of love adalah cinta sejati yang sebentar lagi akan kita bahas.
Orang yang belum bisa mencintai dirinya sebenarnya belum bisa mencintai orang lain.