Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Dinamika Psikologi Cinta: Antara Self-love, Narsisme, dan Cinta Sejati

3 Agustus 2023   16:56 Diperbarui: 3 Agustus 2023   21:04 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Therapim via kompas.com

Menurut kalian bagaimana cinta itu? Apakah terbatas antara ikatan dua insan? Lalu bagaimana dengan mereka yang mencintai diri mereka (self-love)? Sebuah bentuk keegoisankah? Sebenarnya tidak bisakah kita mendefinisikan cinta sejati itu? Apa itu definisi cinta? 

Bahkan sebelum cinta bisa kita definisikan, sebelum bisa kita teliti memakai ilmu psikologi maupun ilmu humaniora lainnya, dan bahkan sebelum manusia purba berevolusi menjadi Homo Sapiens atau sebelum Adam & Hawa tercipta, cinta sudah "ada" dan dapat dirasakan.

Cinta sebenarnya sangat abstrak menurut saya, tidak ada teori yang cukup jelas menjelaskan apa arti cinta. Hingga saya pikir bahwa memang definisi cinta tidak cocok dinalar karena cinta bukan berasal dari olah kognitif tapi dari olah afektif. Oleh karena berasal dari hati bukan dari otak. Cinta tidak bisa dinalar tapi bisa dirasakan.

Perbincangan tentang cinta memang sering kali berkutat tentang hubungan antar dua individu seperti bagaimana kedua belah pihak memperlakukan pasangannya tapi sebenarnya pernahkah kita membahas tentang bagaimana kita mencintai diri kita terlebih dahulu?

Self-Love Bukanlah Egoisme

Kita terlalu sibuk mencari cara untuk memiliki, melayani, dan mencintai orang lain tapi lupa mencintai diri sendiri. 

Self-Love adalah hubungan intrapersonal yang membuat seseorang dengan dirinya mengerti baik atau buruk dirinya tapi dia tidak membencinya, namun menerimanya sebagai kesatuan diri.

Kita mungkin berpikir bahwa jika kita mencintai diri kita membuat diri kita menjadi egois. Namun sebenarnya egois dan mencintai diri adalah hal yang saling berlawanan. 

Erich Fromm dalam buku Lari dari Kebebasan-nya menjelaskan bahwa sebenarnya orang yang egois itu orang yang membenci dirinya sendiri.

Dalam diri orang egois sebenarnya ada rasa "kurang diri" sehingga pada perilaku luar dia harus memenuhi rasa kurang diri itu dengan mendahulukan dan mementingkan dirinya dari orang lain. 

Rasa kurang diri ini tercipta dari ketidakmampuan dirinya untuk mencintai dirinya dan menganggap dirinya kurang hingga dia harus mengambil dari dunia luar apa yang dimiliki orang lain hanya untuk dirinya sendiri.

"Orang yang egois tidak hanya membenci orang lain tapi juga membenci dirinya sendiri", (Erich Fromm).

Maka sebenarnya syarat baiknya hubungan dengan orang lain adalah baiknya hubungan dengan diri sendiri. Hubungan intrapersonal menjadi tonggak hubungan interpersonal. Semakin kita menjadi diri kita, mencintai diri kita, dan menerima diri kita seutuhnya maka kita dapat mencintai orang lain.

Ilustrasi. Sumber: pixabay.com/geralt
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com/geralt

Narsisme Berkedok Cinta

Lalu bagaimana jika kita menjalin hubungan dengan orang lain tanpa mencintai diri terlebih dahulu? Maka sebenarnya kita menjalin hubungan narsistik yang haus akan validasi dari pasangan, ingin terus dilayani, dan pokoknya ingin diutamakan tanpa mau memberi serta melengkapi. Narsisme sendiri sangat erat kaitannya dengan egoisme yang telah kita bahas sebelumnya.

Narsisme membuat orang merasa dirinya spesial dan layak diperlakukan istimewa. Pada hubungan asmara yang berlandaskan narsisme, satu atau dua pihak merasa harus diperlakukan bak ratu atau raja oleh pasangannya. Ingin selalu dimengerti tapi tidak mau mengerti. Pada akhirnya ada yang menjadi pihak pasif dan terjalinlah suatu hubungan toksik yang tidak membangun.

Narsisme ini berasal dari alam bawah sadar yang tidak mencintai dirinya sehingga perlu ada pihak luar yang menegaskan hal tersebut. 

Jika memakai teori piramida kebutuhan Abraham Maslow, terdapat kebutuhan cinta yang dibagi menjadi D-Love & B-Love. 

D-Love adalah deficience of love atau kekurangan akan cinta yang haus akan kasih sayang serta validasi sedangkan B-love atau being of love adalah cinta sejati yang sebentar lagi akan kita bahas.

Orang yang belum bisa mencintai dirinya sebenarnya belum bisa mencintai orang lain.

Cinta Sejati adalah "meng-ada", bukan "memiliki"

Ilustrasi. Sumber: pixabay.com/terimakasih0
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com/terimakasih0

Kita telah membahas sebelumnya tentang narsisme yang berkedok cinta, lalu bagaimana cinta yang sejati itu? 

Memakai teori Maslow yang tadi, cinta yang sejati bukanlah D-love yang berusaha menutupi kekurangan akan cinta tapi being of love atau cinta yang menjadilah yang merupakan cinta paling ideal.

B-love adalah suatu pencapaian psikologis dimana seseorang telah "meng-ada" dan "menjadi" karena cinta yang ada dalam dirinya telah bangkit. Tidak ada kata insecure, egois, dan malas bagi mereka yang telah membangkitkan cinta sejati. Cinta sejati ini memunculkan potensi kepribadian yang orang tersebut miliki.

Kebanyakan cinta yang berdasarkan narsisme & egoisme berlandaskan pada rasa memiliki. Rasa dimana pasangannya adalah benda yang harus dijaga, dimiliki, maupun diperlakukan layaknya mesin pengabul permintaan. Maka dengan hal tersebut dia merendahkan pasangan yang dicintainya sebagai barang pasif.

Cinta yang sebenarnya adalah sebuah keadaan menerima apapun sifat pasangan maupun dirinya sendiri. Suatu kondisi dimana dia menjadi dirinya tanpa kekangan, tanpa paksaan, & tanpa kebohongan. 

Pasangan yang memiliki cinta sejati bukan membentuk ikatan ketergantungan parasitisme tapi membuat ikatan yang membangun antara keduanya.

Rasa milik bukan hal yang penting dalam cinta yang sejati. Rasa memiliki berubah menjadi rasa "meng-ada", sebuah konsep eksistensial akan kedua belah diri. Kedua pihak ini tidak memaksakan kehendak masing-masing & tidak menipu diri mereka juga atas keputusan pihak lainnya.

Pada cinta yang sejati itu kita menjalin diri dengan dunia, kedua pihak tidak menjadi pasif & malas namun keduanya menjadi dua pihak yang produktif & berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun