Akar Kekerasan dan Gagasan Marx Manusia adalah dua karya dari Erich Fromm yang beberapa bulan lalu telah saya baca habis. Fromm yang terkenal akan teori kepribadian Marxian-nya itu memang menuangkan banyak pemikiran-pemikiran Karl Marx dalam setiap konsep psikologinya.Â
Fromm percaya bahwa interaksi antar sesama manusia adalah sebuah fitrah atau tujuan dari perkembangan psikologi seseorang. Dunia sosial beserta interaksi dan sistemnya dapat membentuk baik atau buruknya watak manusia.
Dan beberapa pekan ini juga saya telah menyelesaikan membaca bererapa karya dari Carl Gustav Jung seperti Psikologi dan Agama, Empat Arketipe, Diri yang Tak Ditemukan, dan yang baru-baru ini saya resensi The Spirit in Man, Art, and Literature.Â
Berbeda dengan Fromm, Jung memiliki teori yang berkebalikan dengannya. Jung berpikir bahwa seseorang dapat jauh lebih baik jika mengekspresikan keunikan individunya walaupun itu berbeda dengan rasionalisme masyarakat.
Fromm dan Jung walaupun memiliki mazhab awal sama yakni psikoanalisis, dalam perkembangannya memiliki pandangan yang jauh berbeda. Oleh karena itu saya terbesit untuk melakukan perbandingan dua tokoh besar tersebut di dunia psikologi.Â
Sebenarnya ini masih sebuah perkembangan dari perdebatan sengit antara Nature versus Nurture yang lebih kompleks lagi.
Sosialisme dan Marxisme Erich Fromm
 Fromm menyadari sebenarnya interaksi manusia atas sesamanya dapat menjadi sebuah tujuan dimana manusia dapat mengaktualisasikan dirinya.Â
Sebuah eksistensi diri ke dunia luar adalah sebuah bentuk dari hilangnya alienasi pada diri setiap orang. Alienasi atau keterasingan seperti dalam ajaran marxisme membendung segala perkembangan manusia.
Alienasi menurut Fromm juga merupakan sebuah penyebab dimana manusia tidak dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan berbagai neurotik hingga psikotik.Â
Contohlah saja dalam bukunya Akar Kekerasan yang menyebut ketika pertumbuhan psikologis manusia dibatasi dan tidak menjadi suatu pertumbuhan yang baik, maka akan terjadi berbagai kekerasan. Interaksi manusia dan ikatannya juga menghalangi tindak kekerasan.
Sedangkan jika kita melihat dari bukunya Gagasan Marx Tentang Manusia, Fromm menjelaskan bahwa dengan bekerja kita dapat merealisasikan esensi dalam diri kita.Â
Dan terkadang kebutuhan-kebutuhan sintesis mengalienasi bagaimana seharusnya kita bekerja. Ketika alienasi itu terjadi maka manusia akan memiliki fetisme pada barang dan asing akan dunia luar serta sesamanya.
Indiviudalisme dan Religiusme Carl Gustav Jung
Jung mendirikan berbagai konsepnya atas kehadiran ketidaksadaran yang berisi berbagai emosi dan sebuah ranah gelap yang tidak disadari manusia.Â
Konsepnya tentang Arketipe, persona, bayangan, dan juga anima serta animus adalah berbagai usahanya untuk mendiskripsikan ketidaktahuan kita akan ketidaksadaran manusia.
Pada era dimana Jung hidup hingga sekarang banyak orang menggantungkan hidupnya dalam rasionalisme akal dan kekuatan pikir ego. Dan yang tidak mereka ketahui bahwa walau bagaimanapun juga ada ketidaksadaran yang kadang menjadi motif dari sebuah perilaku walaupun perilaku tersebut sudah ditahan dalam berbagai argumen masuk akal di dalam pikirannya.
Religiusme yang tidak rasional saat ini sudah ditinggalkan padahal agama hadir sebagai suatu kebutuhan untuk meredakan ketidaksadaran yang bersiteru dalam diri manusia.Â
Agama juga menfasilitasi adanya ekspresi ketidaksadaran sebagai keunikan individu. Rasionalisme membuat manusia harus seragam atas dasar logika dan perwujudan dari rasionalisme itu ialah keberadaan negara yang mengatur dengan otoriter.
Mengakui ketidaksadaran yang berisi keunikan individu dan kadang juga beberapa hal di dalamnya yang dinilai buruk di mata masyarakat merupakan suatu tujuan untuk mengenal diri kita seutuhnya, begitulah yang saya baca dalam buku Diri yang Tak Ditemukan karya Jung ini.
Sebuah Jalan Tengah
Kesempurnaan dari sebuah kondisi psikologis adalah sebuah titik keseimbangan atau equilibrium. Kita tidak bisa terlalu mengedepankan relasi dari dunia sosial sedangkan kita melupakan jati diri yang unik. Begitu pula jika kita terlalu menganggap diri kita unik sehingga orang-orang disekitar kita jadi terganggu.
Baik Jung maupun Formm menjelaskan dengan sangat bagus sebuah dinamika yang ada di dalam diri manusia. Bidang yang mereka jalani yang membuat itu berbeda, Formm meneliti pada bidang sosial sedangkan Jung lebih kearah ketidaksadaran manusia.Â
Keduanya juga memiliki pandangan yang sama pada sosio-politik dimana menentang keras otoritarianisme seperti yang ada di Uni Soviet.
Sebuah jalan tengah dapat kita bangun dari keduannya karena sebenarnya teori mereka tidak terlalu menyinggung maupun bertolak belakang. Bahkan bisa saling melengkapi kekurangan yang ada sehingga dapat menjelaskan psikologi manusia dengan lebih sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H