Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Benci dan Cinta Itu Setipis Kertas?

8 Juni 2022   13:30 Diperbarui: 8 Juni 2022   13:32 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saat saya berusia 10 tahun saya pernah dijahili oleh seorang anak perempuan, yap benar anak perempuan dan ya, saya anak laki-laki. Memang dulu atsmorfir keculunan sudah saya miliki, dimana saya sudah memakai kacamata saat itu dan juga bertubuh kurus sehingga rentan kena bully. 

Dipikir-pikir dulu pokonya saya mirip Nobita lah, hanya bedanya tidak ada Doraemon disisi saya.


Waktu itu saya ingat saya sedang berdiri bengong tepat di pintu dan tiba-tiba saya di dorong dengan keras kearah samping menabrak kusen pintu. Hal tersebut membuat kuping saya memar dan merah. 

Lantas saya mengejar si biang kerok ini ingin membalaskan dendam. Namun dia adalah gadis yang lincah dan atlit lari sekolah pula, hal tersebut membuat saya si anak klemar-klemer ini tertinggal dibelakang.


Lalu guru kami yang melihat konflik yang sedang terjadi antara kami akhirnya berbicara "ciee, benci dan cinta itu setipis kertas lho". Memang tidak punya empati si guru ini, bukannya meminta dia minta maaf ke saya malah menuduh saya suka sama dia. 

Perkataan tersebut yang terdengar seperti pepatah umum membuat saya berpikir ulang saat dewasa ini, Benarkah benci dan cinta itu memang setipis kertas?.


Gagasan Konrad Lorenz


Saya tidak akan melanjutakan pengalaman masa kecil saya dan si gadis nakal itu. Mari kita bahas kaitan antara benci dan cinta ini sedikit menggunakan bidang keilmuan psikologi. 

Kalau dilihat dari buku On Aggresion karya Kondrad Lorenz (1966) mennyatakan bahwa tidak ada cinta tanpa agresi. Agresi disini bisa kita runut sebagai sumber rasa benci.


Dalam karyanya tersebut sebenarnya Lorenz sedikit menitik beratkan akan keberadaan agresi sebagai sebuah sifat bawaan yang dimiliki oleh manusia. Agresi sebagai "fitrah" manusia untuk merusak ini menjadi sebuah syarat akan cinta. 

Hal tersebut dapat dilihat dari ikatan pribadi atau persahabatan individu yang hanya didapati pada kawanan binatang dengan dorongan agresi intraspesifiknya yang kuat.


Jadi kesimpulannya saat kita melepaskan agresi kita (dalam hal ini rasa benci) satu sama lain maka akan muncul ikatan yang membuat kita merasakan cinta. Lorenz dengan itu membuat penegasan kembali bahwa rasa benci merupakan syarat bagi keberadaan cinta. 

Seseorang bisa sangat membenci bila telah sangat mencintai, sekalipun ia menginkari rasa cinta itu.


Dari pertanyaan tersebut mungkin kelihatan masuk akal dimana banyak pasangan bisa saling membenci satu sama lain jika salah satu pasangannya selingkuh, bahkan tak jarang juga terbit kasus kriminal dimana seorang istri membunuh suaminya yang selingkuh padahal kita tahu bahwa saat menikah keduanya bisa sangan cinta satu sama lain.


Contoh sebaliknya mungkin bisa kita lihat dalam kasus penculikan yang berujung pada Stockholm Syndrome. Pastilah kita tahu bahwa korban penculikan atau penyanderaan pada awalnya merasa benci pada penyandera namun bisa sangat mengherankan mengapa mereka bisa merasakan simpati dan bahkan menyayangi penyandera.


Gagasan dari Lorenz ini menjadikan cinta dan benci ini menjadi dua sisi yang saling berkaitan. Seolah-olah dalam dua sisi koin yang sewaktu-waktu dapat berubah. Jika ada cinta maka pasti ada benci, sebuah kata-kata yang sangat indah didengar. 

Tak jarang banyak FTV yang sering kali mengambil premis ini dalam cerita mereka dimana si laki-laki atau perempuan dipertemukan oleh sebuah konflik agresi dan lalu berakhir pada sebuah cinta, klasik memang.


Penolakan dari Erich Fromm


Gagasan dari Konrad Lorenz tidak menjadikan sebuah fakta yang menggambarkan tentang keterkaitan antara benci dan cinta. Dalam buku Akar Kekerasan karya Erich Fromm (1973), si filosuf sosial ini menolak gagasan Lorenz tentang benci adalah syarat dari cinta. 

Fromm beranggapan bahwa bukan rasa cintalah yang mengalami perubahan menjadi benci namun karena perasaan narsistik seseorang yang dimabuk cinta.


Perasaan narsistik yang dimabuk cinta ini bukan sebuah cinta namun perasaan bahwa seseorang itu menganggap dirinya spesial menurut pasangannya ini dan harus mendapat rasa perhatian yang cukup dari pasangannya ini. Yang pada akhirnya jika kebutuhan perhatian ini dilanggar entah karena peselingkuhan atau apapun, membuat rasa benci timbul.


Fromm juga mengatakan bahwa jika seseorang dapat membenci bila dia telah mencinta membuat unsur kebenaran menjadi sebuah kemustahilan. Sebagai contoh, jika seorang ibu membenci pembunuh anaknya bukan berarti nanti si ibu akan cinta dengan pembunuh tersebut dan begitu pula sebaliknya.


Benci adalah syarat dari cinta sejatinya tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan mungkin hanya terjadi pada satu-dua kasus. Setiap manusia bisa hanya benci saja kepada suatu hal dan tidak lantas menjadi suka dikemudian hari. Romantisasi dari banyak cerita FTV mungkin mengambil peran bahwa seseorang bisa jatuh cinta kalau diawal dia membenci.


Sedangkan untuk bukti melalui kasus Stockholm Syndrome tadi merupakan sebuah gangguan psikologis yang seharusnya tidak jadi bukti dari gagasan Lorenz. 

Stockholm Syndrome sendiri merupakan cara korban untuk mengatasi stress dan trauma yang berlebihan akibat penyanderaan ini. Perlu diketahui pula ini bukan sebuah perilaku normal dan harus ditangani psikiater agar korban tidak melindungi pelaku.


Lorenz yang seorang ahli etologi mungkin menyamakan perilaku hewan dengan manusia. Hal tersebut wajar mengingat Lorenz juga meyakini konsep teori darwin sehingga mungkin agresi dan juga cinta meruapakan sifat bawaan dari nenek moyang kita si kera. 

Walaupun begitu, setiap manusia dengan kehebatan berpikirnya pastilah dapat memilih setiap perilakunya dan juga pilihannya akan rasa benci ataupun cinta, begitu kata para pemikir eksistensialisme dan humanisme.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun