Fromm juga mengatakan bahwa jika seseorang dapat membenci bila dia telah mencinta membuat unsur kebenaran menjadi sebuah kemustahilan. Sebagai contoh, jika seorang ibu membenci pembunuh anaknya bukan berarti nanti si ibu akan cinta dengan pembunuh tersebut dan begitu pula sebaliknya.
Benci adalah syarat dari cinta sejatinya tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan mungkin hanya terjadi pada satu-dua kasus. Setiap manusia bisa hanya benci saja kepada suatu hal dan tidak lantas menjadi suka dikemudian hari. Romantisasi dari banyak cerita FTV mungkin mengambil peran bahwa seseorang bisa jatuh cinta kalau diawal dia membenci.
Sedangkan untuk bukti melalui kasus Stockholm Syndrome tadi merupakan sebuah gangguan psikologis yang seharusnya tidak jadi bukti dari gagasan Lorenz.Â
Stockholm Syndrome sendiri merupakan cara korban untuk mengatasi stress dan trauma yang berlebihan akibat penyanderaan ini. Perlu diketahui pula ini bukan sebuah perilaku normal dan harus ditangani psikiater agar korban tidak melindungi pelaku.
Lorenz yang seorang ahli etologi mungkin menyamakan perilaku hewan dengan manusia. Hal tersebut wajar mengingat Lorenz juga meyakini konsep teori darwin sehingga mungkin agresi dan juga cinta meruapakan sifat bawaan dari nenek moyang kita si kera.Â
Walaupun begitu, setiap manusia dengan kehebatan berpikirnya pastilah dapat memilih setiap perilakunya dan juga pilihannya akan rasa benci ataupun cinta, begitu kata para pemikir eksistensialisme dan humanisme. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H