Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Benci dan Cinta Itu Setipis Kertas?

8 Juni 2022   13:30 Diperbarui: 8 Juni 2022   13:32 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal tersebut dapat dilihat dari ikatan pribadi atau persahabatan individu yang hanya didapati pada kawanan binatang dengan dorongan agresi intraspesifiknya yang kuat.


Jadi kesimpulannya saat kita melepaskan agresi kita (dalam hal ini rasa benci) satu sama lain maka akan muncul ikatan yang membuat kita merasakan cinta. Lorenz dengan itu membuat penegasan kembali bahwa rasa benci merupakan syarat bagi keberadaan cinta. 

Seseorang bisa sangat membenci bila telah sangat mencintai, sekalipun ia menginkari rasa cinta itu.


Dari pertanyaan tersebut mungkin kelihatan masuk akal dimana banyak pasangan bisa saling membenci satu sama lain jika salah satu pasangannya selingkuh, bahkan tak jarang juga terbit kasus kriminal dimana seorang istri membunuh suaminya yang selingkuh padahal kita tahu bahwa saat menikah keduanya bisa sangan cinta satu sama lain.


Contoh sebaliknya mungkin bisa kita lihat dalam kasus penculikan yang berujung pada Stockholm Syndrome. Pastilah kita tahu bahwa korban penculikan atau penyanderaan pada awalnya merasa benci pada penyandera namun bisa sangat mengherankan mengapa mereka bisa merasakan simpati dan bahkan menyayangi penyandera.


Gagasan dari Lorenz ini menjadikan cinta dan benci ini menjadi dua sisi yang saling berkaitan. Seolah-olah dalam dua sisi koin yang sewaktu-waktu dapat berubah. Jika ada cinta maka pasti ada benci, sebuah kata-kata yang sangat indah didengar. 

Tak jarang banyak FTV yang sering kali mengambil premis ini dalam cerita mereka dimana si laki-laki atau perempuan dipertemukan oleh sebuah konflik agresi dan lalu berakhir pada sebuah cinta, klasik memang.


Penolakan dari Erich Fromm


Gagasan dari Konrad Lorenz tidak menjadikan sebuah fakta yang menggambarkan tentang keterkaitan antara benci dan cinta. Dalam buku Akar Kekerasan karya Erich Fromm (1973), si filosuf sosial ini menolak gagasan Lorenz tentang benci adalah syarat dari cinta. 

Fromm beranggapan bahwa bukan rasa cintalah yang mengalami perubahan menjadi benci namun karena perasaan narsistik seseorang yang dimabuk cinta.


Perasaan narsistik yang dimabuk cinta ini bukan sebuah cinta namun perasaan bahwa seseorang itu menganggap dirinya spesial menurut pasangannya ini dan harus mendapat rasa perhatian yang cukup dari pasangannya ini. Yang pada akhirnya jika kebutuhan perhatian ini dilanggar entah karena peselingkuhan atau apapun, membuat rasa benci timbul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun