Di pinggir jalan itu ia melihat beberapa anak muda yang sedang bermain dengan gawainya. Para anak muda itu terlihat sangat cantik dan tampan. Mungkin dari kawasan elit pikirnya.
 Marjiah tidak tahu persis apa yang mereka lakukan namun satu dari mereka berjoget dan lainnya menyoroti dengan gawainya.Â
Marjiah sendiri tidak tahu apa itu gawai, hanya saja yang dia tahu adalah barang tersebut seperti telepon yang amat penting bagi orang berada.
Marjiah tetap memperhatikan mereka setelah dia melayani pembeli dan berharap mungkin mereka mau membeli jajanannya.Â
Muda mudi tersebut pastilah belum merasakan getirnya nasib terlihat dari cara mereka bersorak-sorai dan pastilah orang tua mereka yang membiayai semua kebutuhan hidup mereka.
"Kue nya den.", sahut Marjiah ketika mereka lewat namun tidak di gubris sama sekali oleh mereka.
 Bahkan mereka menggeleng kepala pun tidak. Fokus mereka masih terhadap percakapan mereka sendiri. Marjiah sudah biasa dengan kelakuan anak muda jaman sekarang. Dulu mungkin dia agak kesal namun kian kesini mungkin dia sudah memaklumi sikap mereka.
Marjiah duduk termenung sambil beristirahat karena hendak akan pulang untuk mengecek kondisi putranya nanti. Sembari dia menengok ke kanan dan kiri untuk melihat apakah ada pembeli atau tidak.
 Lalu saat dia akan berdiri dan hendak pulang ia melihat benda hitam seperti yang anak muda itu bawa di tempat anak muda itu berdiri tadi.Â
Dan ia pun menghampirinya dan mengangkatnya, benda tersebut agak ringan dan persis seperti yang dimainkan anak muda tadi hanya saja yang ini agak cekung ke dalam dan penyok sana sini.
"Apakah ini yang disebut telepon masa depan itu?", pikirnya dalam hati.Â