Namun Marjiah tidak pernah menaruh curiga dan dia percaya kebaikan yang dia lakukan akan diberi ganjaran yang setimpal seperti di ceramah yang pernah dia dengar.Â
Tapi tidak seperti yang dia pikirkan, uang itu raib bersama dengan adiknya hingga sekarang. Walaupun begitu Marjiah tetap pada pendiriannya.
Marjiah menyusuri rumah-rumah kumuh tempat tinggal  setelah mengambil barang dagangannya dari tetangganya. Banyak rumah semi permanen yang dibangun seadanya itu hanya bertujuan untuk tempat berteduh dari terik matahari dan hujan sahaja .Â
Seperti rumah Marjiah sendiri yang dibangun dari beberapa kayu tripleks yang mungkin bisa roboh jika ada badai. Rumah-rumah ini selain rawan bencana juga amat sangat rawan terhadap penggusuran.
 "Kue nya bu, kuenya pak.", Panggil ia kepada para calon pembeli.
Sudah sekian rumah dan kompleks ia datangi namun hanya satu dua yang membelinya mungkin salah satunya iba melihat seorang wanita tua menjajakan jajanan dengan membawa bakul dan kontainer makanan plastik. Baru lima ribu pendapatannya hari ini.Â
Dalam sehari dia paling banyak mengumpulkan lima puluh ribu hingga seratus ribu jika dagangannya habis, lalu akan dipotong dua puluh ribu kepada katering tetangganya tersebut.
Marjiah menyusuri jalan beraspal milik perumahan orang berada. Beda dengan jalan kampungnya yang penuh lumpur dan kerikil, jalan perumahan di sini halus seakan memang disediakan untuk jalannya kendaraan mereka yang bagus dan juga menandakan bahwa "jalan kehidupan" mereka yang juga halus.Â
Marjiah pun memanggil para calon pembelinya.
"Ayo mas sebelum berangkat kerja kuenya dulu.", sahutnya kepada orang berdasi yang dibalas dengan galengan kepala.
Lalu ia melanjutkan perjalanannya dari rumah ke rumah hingga ia bertemu seorang pembeli di pinggir jalan.Â