"Hai, Bang... kenalkan, aku Kinan," katanya. Suaranya serak, nyaris berbisik, namun terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk tempat ini.
Aku tak tahu apa yang membuatku tertarik padanya bukan sekadar wajah, bukan pula senyum yang terkesan dipaksakan. Namun, ada sesuatu di matanya, sesuatu yang menyampaikan perasaan tanpa kata-kata.
Kami duduk, mencoba berbicara di antara riuh rendah musik yang semakin memekakkan telinga. Namun, seiring waktu, suara bising itu perlahan menghilang, tergantikan oleh keheningan aneh di antara kami.
Kami berbincang ringan, mulai mengenal satu sama lain, meskipun aku tahu, ini hanya perkenalan singkat dalam satu malam yang mungkin tak akan terulang.
Aku mencoba memecahkan kesunyian yang samar-samar menyelimuti percakapan kami. Kinan menjawab dengan tenang, kadang tersenyum kecil, seolah-olah tawa itu adalah satu-satunya pelarian dari kehidupannya.
"Aku punya tiga anak yang masih kecil, Bang," ucapnya perlahan, suaranya merendah, seperti rahasia yang hanya bisa dibisikkan. "Dan dua adik yang masih sekolah."
Kinan terdiam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada yang sulit kujelaskan penuh ketegaran, tapi juga penuh luka.
 "Suamiku ditangkap beberapa tahun lalu, kasus narkoba. Sejak saat itu, semua berubah. Semua yang kupikir akan jadi hidupku lenyap begitu saja."
Aku mendengarkan dalam diam, merasakan perih yang mungkin tak pernah benar-benar kuasa aku pahami. Ia tidak berbicara dengan nada mengiba atau keluhan, dia hanya menceritakan sebuah kenyataan pahit yang harus ia hadapi sendirian.
"Aku cuma ingin anak-anakku dan adik-adikku hidup lebih baik, Bang. Aku ingin mereka bisa tetap sekolah, punya masa depan yang lebih dari aku."
Kata-katanya menggantung di udara, menembus kesunyian yang merayap di antara kami. Untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat kehidupan di balik dunia yang biasanya tampak penuh warna-warni dan tawa.