Mohon tunggu...
R. AMRAN
R. AMRAN Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Saya seorang jurnalis yang memiliki kesenangan menulis cerita dan perjalanan hidup seseorang sebagai inspirasi, selain itu saya selalu terobsesi untuk menggali suara-suara mereka yang kerap terpinggirkan agar dapat terdengar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Malam Bersama Kinan

4 November 2024   14:14 Diperbarui: 4 November 2024   17:41 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kinan/er-amran

Aku tidak pernah membayangkan akan tersesat di dunia seperti ini, di tengah gemerlap lampu neon dan dentuman musik yang menghantam jantung dengan nada-nada bising, seolah mengajak siapa pun yang masuk untuk larut dan melupakan.

Malam itu, aku duduk di tengah ruang asing yang dipenuhi wajah-wajah samar, diselimuti asap rokok dan tawa yang terasa terlalu ringan, hampir hampa.

Di sanalah, saat aku masih duduk dengan canggung, seorang perempuan paruh baya mendekat. Tatapan matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan mungkin lelah, mungkin kebijaksanaan dari kehidupan yang keras.

Orang-orang di tempat ini memanggilnya "Mami," sebuah panggilan yang terdengar akrab dan hangat, meskipun di baliknya ada misteri yang membuatku ingin tahu lebih jauh.

"Butuh teman, Mas?" tanyanya lembut, nada suaranya seolah memiliki dua lapis makna kelembutan dan kegetiran. Entah kenapa, rasa penasaran dalam diriku menang. "Ya, boleh... perkenalkan seseorang," jawabku, berusaha menenangkan kegelisahan yang entah muncul dari mana.

Mami tersenyum tipis, lalu mulai memanggil beberapa perempuan. Mereka melangkah ke arahku, satu per satu, seperti parade kecil di antara cahaya lampu yang berubah warna.

Masing-masing menatapku dengan senyum lemah, namun mata mereka terlihat kosong, seakan jiwanya sudah pergi jauh, meninggalkan tubuh mereka dalam rutinitas yang sunyi.

Lalu, aku melihat dia seorang perempuan yang tak banyak bicara, hanya menatapku dari jauh. Sorot matanya mengandung sesuatu yang berbeda dari yang lain. Matanya tidak hanya kosong, ada cerita yang bersembunyi di balik pandangannya, sesuatu yang memanggilku untuk lebih dekat.

Mami seakan mengerti pilihanku sebelum aku mengatakannya. "Kinan," katanya pelan, memperkenalkan perempuan itu.

Kinan menatapku dengan tatapan yang tenang, namun di balik ketenangan itu ada kesedihan yang dalam, yang mungkin tak semua orang mampu melihatnya.

"Hai, Bang... kenalkan, aku Kinan," katanya. Suaranya serak, nyaris berbisik, namun terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk tempat ini.

Aku tak tahu apa yang membuatku tertarik padanya bukan sekadar wajah, bukan pula senyum yang terkesan dipaksakan. Namun, ada sesuatu di matanya, sesuatu yang menyampaikan perasaan tanpa kata-kata.

Kami duduk, mencoba berbicara di antara riuh rendah musik yang semakin memekakkan telinga. Namun, seiring waktu, suara bising itu perlahan menghilang, tergantikan oleh keheningan aneh di antara kami.

Kami berbincang ringan, mulai mengenal satu sama lain, meskipun aku tahu, ini hanya perkenalan singkat dalam satu malam yang mungkin tak akan terulang.

Aku mencoba memecahkan kesunyian yang samar-samar menyelimuti percakapan kami. Kinan menjawab dengan tenang, kadang tersenyum kecil, seolah-olah tawa itu adalah satu-satunya pelarian dari kehidupannya.

"Aku punya tiga anak yang masih kecil, Bang," ucapnya perlahan, suaranya merendah, seperti rahasia yang hanya bisa dibisikkan. "Dan dua adik yang masih sekolah."

Kinan terdiam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada yang sulit kujelaskan penuh ketegaran, tapi juga penuh luka.

 "Suamiku ditangkap beberapa tahun lalu, kasus narkoba. Sejak saat itu, semua berubah. Semua yang kupikir akan jadi hidupku lenyap begitu saja."

Aku mendengarkan dalam diam, merasakan perih yang mungkin tak pernah benar-benar kuasa aku pahami. Ia tidak berbicara dengan nada mengiba atau keluhan, dia hanya menceritakan sebuah kenyataan pahit yang harus ia hadapi sendirian.

"Aku cuma ingin anak-anakku dan adik-adikku hidup lebih baik, Bang. Aku ingin mereka bisa tetap sekolah, punya masa depan yang lebih dari aku."

Kata-katanya menggantung di udara, menembus kesunyian yang merayap di antara kami. Untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat kehidupan di balik dunia yang biasanya tampak penuh warna-warni dan tawa.

Di balik wajah dan senyum yang terlihat sama, ada kepedihan, ada tanggung jawab, ada perjuangan yang luar biasa.

Malam semakin larut, dan di tengah ruangan itu, aku hanya bisa terdiam, mencoba memahami sebuah pilihan hidup yang tak pernah benar-benar bisa disebut sebagai pilihan. Kami duduk dalam diam, tak ada kata-kata yang cukup untuk mengisi ruang di antara kami.

Namun, aku tahu satu hal kisah Kinan akan tinggal dalam ingatanku. Dan malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk datang kembali.

Aku ingin mendengar lebih banyak, ingin mengerti apa yang membuatnya bertahan dalam dunia yang tak pernah ia pilih, demi cinta pada orang-orang yang ia sayangi.

...

Bersambung...
Bagian 2 : Perjalanan Kinan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun