[caption caption="Di era media digital, jurnalis dituntut lebih jujur, lebih bekerja keras dan lebih mencintai pekerjaannya."][/caption]Saat tulisan ini dibuat, tidak terasa saya sudah menjalani profesi jurnalis (khususnya di bidang otomotif) lebih dari 13 tahun. Buat saya, otomotif adalah dunia hobi masa kecil yang kemudian menjadi profesi dan ruang mata pencaharian.
Selama rangkaian perjalanan dan pengalaman tersebut, beberapa hal masih terekam di benak dan ingin saya ceritakan kembali dengan harapan dapat memberikan manfaat. Baik untuk menambah bekal perjalanan karir bagi yang ingin menggeluti bidang jurnalistik, ataupun sekadar manfaat hiburan untuk yang ingin mengenal sisi lain dari sebuah sudut pandang dapur media.
Era Cetak: Trend Data Manipulatif
Tahun 2002, saya memulai perjalanan karir jurnalistik di sebuah majalah. Sebagai jurnalis, tugas saya tentu mencari berita. Mulai dari proses membuat hipotesis, mengumpulkan informasi, hingga mengemasnya menjadi sebuah berita.
Pada tahap ini, banyak fakta yang saya lihat dari keberadaan sebuah media cetak. Di antaranya fakta lazim pemberian amplop berisi uang dari narasumber. Rupanya hal ini merupakan fenomena umum di dunia sekalipun, bisa dicek dengan mudah di Google. Banyak jurnalis yang menerima, dan bahkan ada yang menjadikan lumbung pemasukan tambahan.
Untuk hal ini, kaidahnya jadi abu-abu. Meski terkesan melanggar etik, tapi di sisi lain bagi si pemberi amplop itu adalah bentuk apresiasi karena dianggap telah membantu.
Bentuk pelanggaran lain adalah di pola kerja tim penjualan dan marketing, dimana data media kit banyak yang dimanipulasi. Klaim jumlah tiras disebut mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu eksemplar per sekali penerbitan dihadapan calon pengiklan. Lalu tingkat kembali (return) media cetaknya pun diklaim kecil. Padahal faktanya, cuma dicetak maksimal 10.000 ribu eksemplar dan saat periode return banyak media yang menumpuk di gudang.
Hal ini kemudian menjadi semacam pemakluman, karena pemasukan media lebih banyak didapatkan dari keberadaan iklan.
Era Online: Kebangkitan Media Digital
Tahun 2006, saya bersama beberapa rekan mendirikan beritaatpm.com. Sebuah proses perkembangan, kerana di era digital proses transfer informasi ke publik bisa berlangsung lebih cepat dan cenderung seketika.
Saat itu, beberapa petinggi di industri otomotif pun merespon keberadaan beriaatpm.com. Salah satu indikasinya dengan bersedia menjadi narasumber untuk diprofilkan secara pribadi. Di sisi yang lain, undangan dan pemasangan iklan pun mulai berdatangan di tahun pertama.
Ini berarti sekaligus menunjukkan perlahan tapi pasti jika para pelaku industri otomotif pun mengakui kualitas dan keberadaan media online.
Media online pun terkenal efektif dalam efisiensi biaya pengeluaran. Tidak ada lagi dibutuhkan biaya cetak yang mahal dan gudang penyimpanan majalah yang return. Pengeluaran untuk biaya sewa kantor tidak perlu besar. Pekerjaan bisa dilakukan dimana saja, sepanjang ada laptop dan koneksi internet. Keberadaan biaya lain seperti tenaga sirkulasi dan pemotongan keuntungan dari agensi sirkulasi media bisa ditiadakan.
Artinya, kans untuk mendapatkan keuntungan lebih besar bisa didapatkan.
Era Jurnalisme Sipil (Civil Journalism)
Tahun 2009, saya mulai menulis di blog pribadi jbkderry.wordpress.com. Serta empat tahun kemudian(2013), saya mulai menulis di kompasiana.
Di sini saya melihat publik mulai kehilangan kepercayaan pada media massa. Ada beberapa hal yang menyebabkan, di antaranya faktor terlalu mengedepankan pesan sponsor sehingga informasi yang diantarkan sangat subyektif, serta faktor keberadaan media massa yang dimiliki oleh para pengusaha yang terjun ke bidang politik praktis.
Dua hal ini membuat media massa mulai kehilangan kepercayaan publik, dimana ada jarak yang semakin membesar antara media massa dan kebutuhan informasi publik. Ada satu poin penting yang mungkin terlewatkan dari para pelaku industri media massa online, jika di era digital publik atau konsumen bisa memilih hanya informasi yang disukai atau dibutuhkan. Sekali lagi, memilih. Artinya dunia jurnalistik sudah bergeser, jika sebelumnya terkesan dicekoki, karena media berpikir seperti menara gading bahwa otoritas kebenaran transfer informasi ada di tangan mereka. Faktanya, pemikiran ini sudah bergeser. Publik semakin cerdas.
Publik tidak lagi pasif, tetapi semakin partisipatif. Indikasinya dengan dapat langsung memberikan komentar pada berita yang disajikan, atau bahkan meninggalkan dan memulai era jurnalisme versi mereka. Ada forum seperti Kaskus, ada fasilitas blog gratis di Wordpress dan Blogspot, atau konsep jurnalisme warga a la Kompasiana yang kabarnya bisa menghasilkan 400 hingga 700 artikel per hari.
Era Digital: Tantangan Kejujuran & Data Yang Terbuka
[caption caption="Data traffic overview kekuatan sebuah media lebih terbuka dan bisa diperbandingkan."]
Fasilitas digital untuk memonitor kekuatan media tersedia dengan mudah. Salah satunya yang terlengkap melalui Google PR Rank. Di situ, data Traffic Overview terungkap dengan telanjang dan bisa didapatkan dengan gratis. Mulai dari data jumlah pengunjung, serta faktor-faktor lain yang terkait loyalitas pengunjung seperti waktu lama berkunjung rata-rata, jumlah halaman dibuka rata-rata per kunjungan, hingga tingkat ketidaksukaan publik terhadap isi website (bounce rate).
Era digital pun membedakan gaya wartawan amplop dan jurnalis berkualitas. Wartawan amplop berkecenderungan bebal dalam berkarya, hanya membuat karya yang menyenangkan isi kantong dan pihak yang membayarnya. Era ini sekaligus membuat racun yang dapat membunuh kelangsungan perusahaan, karena potensi income lebih difokuskan untuk kepentingan dirinya sendiri dalam jangka waktu pendek. Padahal perusahaan butuh suntikan pemasukan untuk membiayai kelangsungan hidup, termasuk untuk menggaji wartawan amplop.
Di era digital, jurnalis yang tidak berorientasi amplop pun tidak lantas menghadapi tantangan yang lebih mudah. Mereka harus berebut simpati publik dengan banyak pihak, termasuk dengan para jurnalis berbasis sosial media seperti Justin Bieber, PSY (Gangnam Style) atau Isyana Saraswati.
Di era digital, jurnalis dituntut memiliki kemampuan yang lebih kompleks. Di bidang saya, jurnalis yang handal selain dituntut membuat berita teks dan foto yang disukai, juga harus bisa membuat kata-kata kunci agar artikel yang dibuat lebih mudah ditemukan di mesin pencari Google. Di samping itu harus bisa membuat kata-kata teasing (penggoda) di jejaring sosial media saat melempar link artikel di Twitter, Facebook, Linkedin dan Google+.
Bahkan sebisa mungkin membuat paket kreatif jurnalistik untuk ditawarkan kepada calon klien yang sekaligus menjadi narasumber. Sederhananya, jurnalis sebisa dituntut mengasa dan memiliki jiwa sales (penjual) tanpa mengorbankan idealisme dan nilai presite, agar profesi yang digelutinya bisa menjadi sumber pencarian yang mencerahkan. Jika tidak, maka level degradasinya adalah menjadi wartawan amplop.
Jurnalis di era digital harus bisa menangkap kecenderungan gejala yang berkembang, lalu mengemasnya menjadi sebuah informasi yang berkelas dan disukai. Sebuah tuntutan proses yang tentu tidak mudah.
Initisari
Saya melihat jika media massa ingin bertahan dan terus bertumbuh kembang, maka harus bisa menyerap dan mengkombinasikan poin-poin penting dari jurnalisme sipil yang lebih cair dan horisontal.
Jurnalis dari media massa tidak dapat lagi hanya melihat dan memposisikan dirinya sebagai pemegang transfer informasi yang paling benar, melainkan kini juga harus bisa menjadi pihak yang dapat menjembatani kebutuhan informasi yang dibutuhkan atau diinginkan serta disukai oleh publik.
Ini bukan berarti jurnalis menjadi atau sebagai budak penyedia informasi untuk kebutuhan publik, tapi lebih kepada mitra bahkan sebagai kawan perbincangan.
Profesi jurnalis harus mampu bisa lebih peka untuk menyerap gejala – gejala di masyarakat, kemudian menjadi titian pijaknya untuk mengumpulkan kepingan – kepingan informasi, sebelum merangkumnya menjadi sebuah karya yang dicintai.
Saat karya jurnalistik mereka dapat dianalogikan sebagai rumah atau tempat singgah yang menyenangkan, maka media itu menurut saya dapat dikatakan berhasil.
Jurnalisme hari ini adalah jurnalisme yang lebih guyub, tempat orang-orang mau dengan sukarela dan senang hati berkumpul secara horisontal.
Jurnalisme hari ini adalah harus bisa menjadi tempat persinggahan yang menyenangkan sekaligus mencerahkan.
Artinya, jurnalisme hari ini harus bisa lebih bekerja keras untuk menjadi kawan, sahabat, bahkan sebagai keluarga yang baik.
Dan itu bisa dicapai dengan cinta dan rasa memiliki, serta kerja keras. Jangan lupa untuk selalu berdoa yah, untuk bersyukur dan meminta bimbingan dari Sang Penguasa Kehidupan.
(penulis adalah jurnalis di portal motorinanews dan blogger di jbkderry.wordpress.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H