Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskusi Ahmadiyah dan Gusdurian, Menguak Tabir Tanpa Penghakiman

13 Oktober 2019   07:07 Diperbarui: 13 Oktober 2019   07:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Apa hubungan Ahmadiyah dengan Gus Dur?"

Barangkali inilah pertanyaan yang membuat diskusi 'berdaging' sejenak mengendur. Selain sederhana dan menggelitik, pertanyaan ini juga epik. Terlontar dari seorang pemuda komunitas Gusdurian yang turut hadir pada acara 'Semarang Religius Diversity', Jemaat Ahmadiyah untuk kesekian kalinya membuka pintu tabayyun terhadap sejumlah sangsi.

Sabtu 12 Oktober 2019. Pengurus cabang dan wilayah serta para mubaligh sudah terlihat sibuk dalam persiapan menyambut tamu komunitas Gusdurian yang akan berkunjung ke masjid Nusrat Jahan milik Jemaat Muslim Ahmadiyah Cabang Semarang. Diskusi kali ini bertajuk 'Get to Know Ahmadiyah dan Teologi Kedamaian dalam Perspektif Ahmadiyah'. 

Tercatat sekitar empat puluh orang yang mayoritas adalah mahasiswa UIN Walisongo, hadir dalam diskusi dengan keynote speaker Maulana Syaefulloh selaku mubaligh Jemaat Muslim Ahmadiyah wilayah Jawa Tengah 3.

Diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran oleh perwakilan mahasiswi, pemaparan tentang Jemaat Ahmadiyah dimulai sekitar pukul delapan pagi. Pentingnya terlebih dulu memaparkan tentang Ahmadiyah kepada peserta, menurut Maulana Syaefulloh, adalah agar para peserta diskusi terlebih dahulu mengenal dengan baik tentang jemaat ini. 

Isu perdamaian, bukanlah sebuah hal baru bagi Ahmadiyah, mengingat misi perdamaian ini sudah termaktub dalam motto 'Love for All, Hatred for None', cinta kasih untuk semua dan tiada kebencian untuk siapapun.

Ahmadiyah masuk ke kota Semarang sejak tahun 1956. Dalam perjalanannya, bisa dikatakan bahwa kota ini tergolong 'zona hijau', karena sangat jarang terjadi konflik atau persekusi terhadap warga muslim ahmadiyah seperti halnya yang sering terjadi di beberapa daerah di Indoneisa. 

Pesan damai yang diemban oleh khalifah ahmadiyah dalam misinya menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia, belum sepenuhnya berimbas damai bagi para anggotanya, khususnya di beberapa daerah di Indonesia yang anggotanya mengalami persekusi.

Sekelumit tentang Ahmadiyah

Maulana Syaefulloh dalam beberapa slide show, memberikan penjelasan yang gamblang tentang akidah yang mereka anut, yang ternyata, adalah Islam. Dari setiap detail penjelasan yang diberikan, sama sekali tidak ditemukan adanya perbedaan rukun Islam yang dimiliki oleh jemaat ini. 

Mereka tetap mengucapkan dua kalimat syahadat, dan bukan tiga kalimat seperti yang pernah terdengar di luaran. Mereka pun tidak melakukan haji ke Pakistan atau Qadian seperti yang banyak dituduhkan, melainkan ke kota Mekah Almukaromah sebagai satu-satunya tempat berhaji bagi umat muslim. Tidak sedikit anggota jemaat muslim ahmadiyah yang sudah melaksanakan ibadah haji, yang mereka lakukan ke kota Mekah.

Hal menarik lainnya adalah, diskusi-diskusi tentang akidah ahmadiyah, disajikan dengan data-data yang objektif yang bersumber tidak hanya dari buku-buku internal ahmadiyah saja, melainkan juga dari data nasional seperti hasil penelitian dan pengembangan Departemen Agama tahun 2008 yang menyatakan bahwa 99% ahmadiyah sama dengan Islam.  

Jika memang terjadi perbedaan, pastilah hal tersebut hanya sebatas pada soal khilafiyah perkara fikih muamalah. Dalam hal mana, perbedaan seperti ini juga sering terjadi di antara organisasi-organisasi Islam di Indonesia dan dunia.

Ada lagi beberapa sumber buku yang dijadikan bahan studi komparasi untuk menjawab beragam persepsi yang muncul di masyarakat. Beberapa buku yang ditulis oleh ulama Nahdhliyin juga banyak yang memberikan jawaban yang sama, seperti jawaban yang tertulis di buku-buku karangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pendiri jemaat ahmadiyah.

Penjelasan tentang 'tidak adanya perbedaan' ini bahkan menyentuh kepada isu pengakuan khataman nabiyyin, yang sering dijadikan amunisi oleh pihak yang tidak menginginkan kehadiran ahamdiyah. Pertanyaan ini datang dari salah seorang mahasiswi, tentang makna khataman nabiyyin dalam perspektif ahmadiyah. Dijelaskan dengan berbagai sumber bahwa, pada kenyatannya, ahmadiyah pun mengakui nabi Muhammad salallaahu alaihi wasallam sebagai khotamul anbiyya.

Beberapa kening berkerut tampak terlihat dari beberapa peserta. Bukankah selama ini tersiar kabar bahwa mereka punya nabi ke-26? Hal itu tidak salah, jika dimaknai dengan benar. 

Definisi nabi sebagai seorang laki-laki yang memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah, adalah definisi yang populer terdengar di khalayak. Sementara, ada tafsir yang lebih rinci bahwa nabi pun ada yang datang sebagai pembawa syariat, dan ada juga yang tidak membawa syariat.

Demikianlah posisi kenabian di dalam jemaat ini, yang menempatkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan para khalifah penerusnya sebagai nabi zilli atau buruzi. Istilah ini akan kita temui  dalam ilmu tasawuf sebagai pengertian untuk nabi yang tidak membawa syariat, dan datang untuk melanjutkan dan menjaga syariat yang sudah ada.

Hal ini berarti, dikaitkan pula dengan keberadaan ahmadiyah di Indonesia yang hampir menyentuh usia seabad, beberapa konflik dan persekusi yang terjadi sebenranya tidak bersumber dari masalah akidah. Salah satu contoh yang terjadi adalah ketika terjadi pemberontakan DI/TII, beberapa jemaat ahmadiyah saat itu harus syahid karena menolak membelot dari kedaulatan negara.

Maulana Syaefullah pun menegaskan dengan lantang, "Sejak dulu, kami merah putih! Kami NKRI!".

Sebuah statement yang menjawab sekaligus, pertanyaan tentang sikap ahmadiyah terhadap pemerintah terpilih, tentang konsep khilafah ahmadiyah yang tidak berkonteks pada penguasaan wilayah, dan juga tentang sikap ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tidak berpolitik namun selalu dijadikan isu renyah pada janji-janji kampanye partai politik.

Konsep Perdamaian bagi Ahamdiyah

Mengulik pesan damai yang dibawa oleh Islam, sejak berabad yang lalu Ahmadiyah sudah mengemban misi menjalankan syariat dan kekhalifahan yang seharusnya. Bagaimana konsep Islam dan khalifah yang seharusnya? Tentu saja yang sesuai dengan ajaran Rasulullah salallaahu alaihi wasallam. 

Beliau memberikan teladan dalam dakwah yang santun dan damai. Tidak memaksa memeluk Islam, sekalipun beliau adalah seorang rasul, karena firman Allah taala yang menyampaikan bahwa tugas pendakwah hanyalah menyampaikan, bukan memaksakan. Laa ikrooha fid Diin, tidak ada paksaan dalam memeluk agama.

Mengampanyekan Islam dengan damai inilah, yang selalu diusung oleh khalifah Ahmadiyah dalam perjalanan-perjalanan misinya ke berbagai negara, sehingga saat ini ahmadiyah telah masuk ke 213 negara. Maasya Allah, Laa quwwaata illa billah. Demikian besarnya karunia Allah taala pada jemaat ini, yang menebarkan dakwah Islam dengan prinsip dasar:

  • Loyalty. Kesetiaan pada bangsa dan negara adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah taala;
  • Freedom. Kemerdekaan sebagai individu, bangsa, dan penganut keyakinan beragama;
  • Equality. Prinsip persamaan, sebagaimana teladan Rasulullah yang tidak menyukai fanatisme sempit karena ras atau suku bangsa, karena sebaik-baik manusia di hadapan Allah adalah mereka yang memiliki ketakwaan;
  • Respect. Saling menghormati dan menghargai antar bangsa, agama, dan aliran agama;
  • Peace. Terciptanya kedamaian di antara bangsa, agama, dan aliran agama;
  • Love for All, Hatred for None. Misi untuk mencintai semua orang dan tidak membenci siapapun.

Enam prinsip dasar ini dipegang dan dipraktekkan dalam setiap kampanye Islam di banyak tempat. Dengan konsep perdamaian yang mendarah daging ini, menjadikan para anggota jemaat ahmadiyah demikian taat dalam iman, khususnya dalam hal untuk senantiasa menebarkan kebaikan sekalipun orang lain memperlakukan mereka dengan keburukan.

Ahmadiyah bukan organisasi baru di Indonesia, tidak pula menjadikan pesan perdamaian sebagai isu yang baru. Karena sejak lahirnya, nama ahmadiyah saja sudah dipilih berdasarkan keinginan untuk membumikan ajaran damai Rasulullah dan para salafush sholih. 

Nama Ahmadiyah, bukan berasal dari pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, melainkan murid-murid Ahmad, dalam hal ini adalah nama jamaali (keindahan) dari Rasulullah shalallaahu alaihi wasalaam.

Kampanye kebaikan yang selalu dilakukan, salah satu tujuannya adalah tabayyun, menjawab tuduhan-tuduhan dengan data yang objektif. Sekalipun perlakuan persekusi sering diterima, tetap saja jemaat ini menyerahkan cara penyelesaian konflik kepada pemerintah dan pihak yang berwenang. 

Meskipun lagi, hasil yang diperoleh masih sering mengecewakan bagi jemaat ahmadiyah, namun sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri, maka patuhlah jemaat ini pada aturan negeri.

Pesan damai sudah tersebar di 213 negara, melebihi jumlah negara peserta PBB. Moslem Television of Ahmadiyya (MTA), menjadi salah satu cara dakwah ahmadiyah ke seluruh dunia. Sehingga, meskipun khalifahnya berada di London, namun nasihat yang tersampaikan kepada anggota akan tetap sama dan seragam. Inilah roh khalifah sebagai bayang-bayang nabi yang membuat jemaat ini tetap bertahan dalam keimanan, meskipun dipersekusi.

Lalu apa kaitannya dengan Gus Dur?

Pertanyaan ini sejenak membuat beberapa anggota jemaat mengenang momen pertemuan khalifah ke IV, yang berkunjung ke Indonesia tahun 2000 dan diterima oleh Kyai sekaligus Presiden Abdurrahman Wahid sebagai tamu negara. Momen itu adalah sebuah cerita rohani yang membekas di ingatan setiap ahmadi. 

Gus Dur, adalah sosok teladan yang mengajarkan keindahan toleransi. Karena kerendahhatiannya, khalifah ahmadiyah dipersilakan menjadi tamu negara, dan berhasil mencabik relung rindu para ahmadi untuk melihat lebih dekat khalifahnya.

Gusdurian, barangkali hanya sebuah komunitas, sama halnya seperti Ahmadiyah yang sejatinya hanya sebuah organisasi. Tidak ada keyakinan agama baru dalam diri mereka, seperti halnya tidak ada keengganan untuk saling terbuka. Sebuah closing statement, kembali disampaikan dengan segala kerendahan hati, bahwa masjid ahmadiyah sangat terbuka bagi siapapun yang ingin beribadah di dalamnya. 

Begitu pun para mubaligh dan pengurus yang akan menyambut gembira, dengan tangan terbuka, bersedia menemui siapapun yang ingin mengenal lebih dalam tentang ahmadiyah.

"Kapan pun ingin mampir untuk bertanya, silakan datang ke masjid ini. Masjid kami pun terbuka jika ada yang membutuhkan tempat untuk acara kajian." Closing statement dari Bapak Abdussomad selaku ketua Jemaat Muslim Ahmadiyah Cabang Semarang.

Toleransi memang tidak harus kebablasan, tapi bisa berdampingan. Karena berkeyakinan adalah pencarian damai yang hakiki, bukan untuk menerima penghakiman apalagi persekusi.

Salam damai. Love for All, Hatred fo None.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun