Hal menarik lainnya adalah, diskusi-diskusi tentang akidah ahmadiyah, disajikan dengan data-data yang objektif yang bersumber tidak hanya dari buku-buku internal ahmadiyah saja, melainkan juga dari data nasional seperti hasil penelitian dan pengembangan Departemen Agama tahun 2008 yang menyatakan bahwa 99% ahmadiyah sama dengan Islam. Â
Jika memang terjadi perbedaan, pastilah hal tersebut hanya sebatas pada soal khilafiyah perkara fikih muamalah. Dalam hal mana, perbedaan seperti ini juga sering terjadi di antara organisasi-organisasi Islam di Indonesia dan dunia.
Ada lagi beberapa sumber buku yang dijadikan bahan studi komparasi untuk menjawab beragam persepsi yang muncul di masyarakat. Beberapa buku yang ditulis oleh ulama Nahdhliyin juga banyak yang memberikan jawaban yang sama, seperti jawaban yang tertulis di buku-buku karangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pendiri jemaat ahmadiyah.
Penjelasan tentang 'tidak adanya perbedaan' ini bahkan menyentuh kepada isu pengakuan khataman nabiyyin, yang sering dijadikan amunisi oleh pihak yang tidak menginginkan kehadiran ahamdiyah. Pertanyaan ini datang dari salah seorang mahasiswi, tentang makna khataman nabiyyin dalam perspektif ahmadiyah. Dijelaskan dengan berbagai sumber bahwa, pada kenyatannya, ahmadiyah pun mengakui nabi Muhammad salallaahu alaihi wasallam sebagai khotamul anbiyya.
Beberapa kening berkerut tampak terlihat dari beberapa peserta. Bukankah selama ini tersiar kabar bahwa mereka punya nabi ke-26? Hal itu tidak salah, jika dimaknai dengan benar.Â
Definisi nabi sebagai seorang laki-laki yang memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah, adalah definisi yang populer terdengar di khalayak. Sementara, ada tafsir yang lebih rinci bahwa nabi pun ada yang datang sebagai pembawa syariat, dan ada juga yang tidak membawa syariat.
Demikianlah posisi kenabian di dalam jemaat ini, yang menempatkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan para khalifah penerusnya sebagai nabi zilli atau buruzi. Istilah ini akan kita temui  dalam ilmu tasawuf sebagai pengertian untuk nabi yang tidak membawa syariat, dan datang untuk melanjutkan dan menjaga syariat yang sudah ada.
Hal ini berarti, dikaitkan pula dengan keberadaan ahmadiyah di Indonesia yang hampir menyentuh usia seabad, beberapa konflik dan persekusi yang terjadi sebenranya tidak bersumber dari masalah akidah. Salah satu contoh yang terjadi adalah ketika terjadi pemberontakan DI/TII, beberapa jemaat ahmadiyah saat itu harus syahid karena menolak membelot dari kedaulatan negara.
Maulana Syaefullah pun menegaskan dengan lantang, "Sejak dulu, kami merah putih! Kami NKRI!".
Sebuah statement yang menjawab sekaligus, pertanyaan tentang sikap ahmadiyah terhadap pemerintah terpilih, tentang konsep khilafah ahmadiyah yang tidak berkonteks pada penguasaan wilayah, dan juga tentang sikap ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tidak berpolitik namun selalu dijadikan isu renyah pada janji-janji kampanye partai politik.
Konsep Perdamaian bagi Ahamdiyah