Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alam dan Peradaban dalam Ironi Paradigma Sains Modern

20 Februari 2021   17:44 Diperbarui: 20 Februari 2021   17:49 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

Di awal tahun 2021 ini, kita menyaksikan teramat banyak peristiwa terjadi silih berganti  baik itu yang menggembirakan ataupun sebaliknya. Akan tetapi riuh rendah, gegap gempita awal tahun ini nampaknya tak segemerlap tahun-tahun sebelumnya. 

Pasalnya pandemi yang amat menyengsarakan kelangsungan hidup manusia masih belum beranjak seraya masih terus menebar ancaman. Belum lagi, di awal bulan ini Indonesia dikepung oleh berbagai macam bencana.

Di timur Indonesia kita masih mendengar krisis air bersih yang tak juga berkesudahan. Di bagian barat bumi pertiwi, asap tebal imbas pembakaran hutan masih juga tak terkendalikan. 

Belum reda bencana di barat, ujung utara nusantara diguncang gempa magnitudo 7,1. Sementara itu di tanah suku dayak yang terkenal rimbun pepohonan kini justru di terjang oleh derasnya arus banjir bandang. 

Tak selesai sampai di situ, di pulau sentral negeri ini masalahnya lebih runyam lagi. Tanah longsor yang memakan puluhan korban makin sering terjadi, polusi kian menjadi, penyebaran virus kian seolah tak teratasi, dan masalah banjir apalagi.

Sampai di sini, nampaknya kita mesti khawatir akan hari depan nusa bangsa yang secara susah payah dibangun lewat keringat dan darah para founding fathers. 

Mungkin tak salah jika Soekarno pernah berkata bahwa perjuangan terberat bangsa Indonesia justru setelah kemerdekaannya. Benar bahwa melawan bangsa sendiri jauh lebih sulit dan rumit dibandingkan melawan bangsa lain. 

Segala macam dilema kemudian hadir di dalamnya. Seolah-olah bencana yang diakibatkan oleh tangan sendiri menjadi tak layak untuk dihakimi.

Terlepas dari kegamangan menghadapi bangsa sendiri, lebih jauh Mochtar Lubis mengingatkan kita untuk lebih jauh merefleksi diri dalam memandang segala permasalahan kita dalam bernegara yaitu soal sifat dan mentalitas yang lemah. 

Teguran keras itu semestinya mampu diinsyafi bersama agar ke depannya hari depan yang cerah itu dapat kita raih.

Kembali pada permasalahan utama, pertama-tama yang hendak menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah mengenai kepekaan lingkungan. Seperti yang tadi telah diuraikan berkenaan dengan masalah yang merundung negeri ini, maka yang perlu kita pertanyakan kemudian adalah mengapa masalah ini tak jua dapat terkendali?

Faktanya disadari atau tidak kita semua rasa-rasanya merasakan perubahan drastis dari kondisi lingkungan saat ini tak sama seperti 5-10 tahun yang lalu. 

Gunung-gunung yang rimbun oleh pepohonan kini terganti oleh rimbunnya perumahan, sungai-sungai yang jernih dan ditinggali beraneka ragam ikan kini berubah oleh beraneka ragam barang buangan. 

Pada dasarnya memang perubahan zaman merupakan sebuah keniscayaan, namun satu hal pasti dari makna sebuah keniscayaan adalah nilai kebaikan.

Saat perubahan zaman mengharuskan manusia untuk meningkatkan kompetensinya, meningkatkan infrstruktur hidupnya, sangat sering sekali menganaktirikan peningkatan kualitas lingkungannya pula. 

Hal ini seolah tak terdapat dalam cetak biru masa depan peradaban. Sebuah ironi dan cara pikir paradoks menjadi tren perkembangan zaman dewasa ini. Pembangunan yang memudahkan manusia untuk beraktivitas sekaligus juga memudahkan manusia untuk segera lenyap dari peradaban.

Terkadang satu hal kecil terlintas dalam pikiran ketika melihat manusia beberapa abad silam begitu menjunjung tinggi lingkungannya sebagai tempat mereka hidup. 

Maka tak heran sejak zaman Mesopotamia hingga masa pra revolusi industri, lingkungan masih menjadi sahabat karib sekaligus tempat yang nyaman untuk ditinggali. 

Kondisi tersebut tentu berbanding terbalik dengan situasi saat ini, tak kurang dari 100 tahun pasca terjadinya revolusi industri lingkungan di bumi ini menjadi sudah kurang bahkan tak nyaman lagi. Hanya dalam tempo sesingkat itu pula berbagai peradaban dan budaya telah musnah. Lalu apa makna dari perkembangan zaman ini?

Contoh kecil, marilah kita lihat betapa Suku Baduy dan beberapa kebudayaan tradisional lain dapat hidup harmonis dengan lingkungannya. Mereka tidak melakukan keruskan sehingga alam pun membalas dengan memberikan mereka kenyamanan dan kesejukan. 

Tentu kita mesti bersepakat bahwa peran Suku Baduy amat rendah sebagai Top Global dan Nasional perusak alam. Ironisnya, justru tak sedikit yang menganggap remeh Suku Baduy serta masyarakat tradisional lainnya. 

Padahal yang sejatinya perusak alam apakah masyarakat tradisional yang "kuno" ataukah mereka para lulusan perguruan tinggi yang sering kita sebut sebagai "cendekiawan" itu?

Atas fakta tersebut sudah sepatutnya kita berpikir kembali, merefleksi, dan merenung tentang berbagai kemajuan zaman dan perkembangan teknologi ini. Menjadi sebuah hal urgen bagi para "cendekiwan" tadi untuk mulai berpikir bukan hanya efektivitas pekerjaan.

Namun juga analisis  kritis terhadap lingkungan. Jangan sampai istilah "Sibuk membangun, lupa menanam" menjadi pola pikir yang terus menerus berkelindan. 

Generasi masa depan masih dan lebih membutuhkan lingkungan alam yang sehat daripada sekedar teknologi "canggih". Lebih baik lagi apabila bisa mengkombinasikan keduanya ke dalam teknologi ramah lingkungan, kebijakan ramah lingkungan, serta pendidikan lingkungan yang berkelanjutan. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun