Faktanya disadari atau tidak kita semua rasa-rasanya merasakan perubahan drastis dari kondisi lingkungan saat ini tak sama seperti 5-10 tahun yang lalu.Â
Gunung-gunung yang rimbun oleh pepohonan kini terganti oleh rimbunnya perumahan, sungai-sungai yang jernih dan ditinggali beraneka ragam ikan kini berubah oleh beraneka ragam barang buangan.Â
Pada dasarnya memang perubahan zaman merupakan sebuah keniscayaan, namun satu hal pasti dari makna sebuah keniscayaan adalah nilai kebaikan.
Saat perubahan zaman mengharuskan manusia untuk meningkatkan kompetensinya, meningkatkan infrstruktur hidupnya, sangat sering sekali menganaktirikan peningkatan kualitas lingkungannya pula.Â
Hal ini seolah tak terdapat dalam cetak biru masa depan peradaban. Sebuah ironi dan cara pikir paradoks menjadi tren perkembangan zaman dewasa ini. Pembangunan yang memudahkan manusia untuk beraktivitas sekaligus juga memudahkan manusia untuk segera lenyap dari peradaban.
Terkadang satu hal kecil terlintas dalam pikiran ketika melihat manusia beberapa abad silam begitu menjunjung tinggi lingkungannya sebagai tempat mereka hidup.Â
Maka tak heran sejak zaman Mesopotamia hingga masa pra revolusi industri, lingkungan masih menjadi sahabat karib sekaligus tempat yang nyaman untuk ditinggali.Â
Kondisi tersebut tentu berbanding terbalik dengan situasi saat ini, tak kurang dari 100 tahun pasca terjadinya revolusi industri lingkungan di bumi ini menjadi sudah kurang bahkan tak nyaman lagi. Hanya dalam tempo sesingkat itu pula berbagai peradaban dan budaya telah musnah. Lalu apa makna dari perkembangan zaman ini?
Contoh kecil, marilah kita lihat betapa Suku Baduy dan beberapa kebudayaan tradisional lain dapat hidup harmonis dengan lingkungannya. Mereka tidak melakukan keruskan sehingga alam pun membalas dengan memberikan mereka kenyamanan dan kesejukan.Â
Tentu kita mesti bersepakat bahwa peran Suku Baduy amat rendah sebagai Top Global dan Nasional perusak alam. Ironisnya, justru tak sedikit yang menganggap remeh Suku Baduy serta masyarakat tradisional lainnya.Â
Padahal yang sejatinya perusak alam apakah masyarakat tradisional yang "kuno" ataukah mereka para lulusan perguruan tinggi yang sering kita sebut sebagai "cendekiawan" itu?