Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Babad Ikhwan Mistis: Ilmiah di Tatar Alamiah

1 Agustus 2020   19:52 Diperbarui: 1 Agustus 2020   19:43 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kantin belakang kampus, Ical sibuk memainkan gawainya. Ia nampak begitu serius, lirikan matanya seolah tertancap pada layar. Hampir setengah jam Ical berdiam pada posisi itu tanpa gerak gerik sebagai tanda ketidaknyamanan. Desir angin yang cukup kencang siang itu bahkan tak sanggup mengganggu kekhidmatannya. Angin hanya mampu menghempaskan poni rambutnya yang panjang itu sampai bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Wahyu dan Dede yang datang kemudian dan duduk di samping Ical juga tak mampu melerai fokusnya. Padahal tiga kali Dede sudah memanggil-memanggil namanya. 

Saat sudah berada persis di samping Ical, Dede mencondongkan wajahnya tepat di samping wajah Ical, tampak seperti seorang kekasih manja yang usil dan penasaran dengan apa yang dilakukan pasangannya. Tak lama setelah itu terdengar suara "Treenggg" sebuah ranting pohon yang cukup besar jatuh tepat di atas kanopi kantin.

Sontak hal tersebut membuat Ical "terjaga" dari fokusnya, dan saat ia memalingkan wajah ke arah kiri, ia kaget bukan main.

"Innalilahi" Seru Ical kala melihat wajah Dede yang tepat di pinggir pipi kanannya.

"Waduh!" Balas Dede sambil memegang dagunya yang terkena sikut tangan Ical.

"Wah wah maaf bro, lu sih ngagetin!"

Wahyu tertawa terbahak-bahak melihat tingkah konyol kedua rekannya. Sambil masih menahan tawa, Wahyu bertanya.

"Lagi apa sih Cal, serius amat lu"

"Iya, gua panggil nggak noleh juga lu" Gumam Dede kesal.

"Ah kalo bukan suara akhwat nggak bakal kedengeran" Balas Ical sambil terkekeh.

"Jadi itu lu liat apaan?" Dede kembali bertanya.

"Liat aja ni sendiri" Kata Ical sambil memberikan gawainya kepada Dede dan Wahyu.

Sejurus kemudian Wahyu dan Dede membaca sebuah artikel yang sedang dibaca oleh Ical. Kira-kira begini potongan isinya:

"Virus Baru ditemukan, Pakar Prediksi Bisa Jadi Ancaman Bahaya

......Para pakar memperkirakan bahwa virus tersebut setelah dianalisa memiliki tingkat penyebaran dan rasio kematian yang tinggi. Hal ini disebabkan karena virus yang ditemukan merupakan jenis baru dan asal usulnya belum diketahui. Oleh karena itu tak heran di tempat pertama kali virus ini ditemukan, jumlah korban yang terinfeksi sangat banyak dan terus meluas ke daerah lain.

......Dewan kesehatan dunia yang meninjau kasus penyebaran virus baru ini juga memberikan arahan kepada negara-negara lain untuk berhati-hati dan bahkan menutup akses dari dan menuju lokasi penyebaran virus ini".

Wahyu dan Dede cukup tertegun melihat informasi ini, ternyata mereka baru mengetahuinya setelah lebih dari dua minggu kasus ini ramai dibicarakan di sosial media.

"Bahaya sih, tapi jauh kan dari sini Cal" Gumam Wahyu.

Ical tak segera menjawab, ia meneguk segelas kopi yang ada di hadapannya terlebih dahulu dengan perlahan, seolah semua kenikmatan terdapat pada kopi yang ada di genggamannya itu.

"Ini dia masalahnya Yu" Ical berhenti sejenak dan menarik napas pelan "Bangsa kita dengan kesantaiannya tidak mau berpikir panjang dan melihat perkembangan yang ada, itu masalah kita dari dulu" Tambahnya.

"Lho maksudnya gimana Cal?" Tanya Dede heran.

"Mungkin penjelasan ini bakal agak panjang De, ini bukan soal teknis semata, tapi sudah menjadi masalah yang cukup fundamental" Ujar Ical.

Sekali lagi Ical menarik napas, kali ini cukup panjang, dan ia hembuskan perlahan, kemudian ia baru berbicara.

"Bangsa kita adalah bangsa yang latah dan gagap De, Yu. Mengapa bisa disebut gitu? Kita sama-sama tau kalau bangsa kita sejak dulu hanya lebih banyak sebagai konsumen daripada produsen, terutama pada bidang teknologi. Lalu apa hubungannya dengan latah? Tentu ini adalah karena bangsa kita selain banyak mengkonsumsi, juga gagal paham dengan penggunaan teknologi secara kaffah, sehingga yang terjadi adalah sudah mah hanya menerima, juga salah menggunakan, atau tidak paham makna penggunaannya".

"Singkatnya begitu, nah dalam kasus tadi misalnya teknologi yang konotasinya positif saja bangsa kita bisa salah memahami dan menggunakan, apalagi ini terhadap virus berbahaya yang sudah jelas-jelas negatif akibatnya, bisa ambyar bangsa kita jika salah menanggulangi!" Tegas Ical.

Mendengar penjelasan Ical yang cukup gamblang, kepala Wahyu dan Dede hanya bisa naik turun sebagai isyarat persetujuan, namun dahi Wahyu masih mengkerut pertanda masih ada seberkas tanya yang bergelantungan di benaknya.

"Lha memangnya respon dari kita gimana Cal, pemerintah kita maksudnya?"

"Nah iya Cal gimana, gua udah lama nggak update beginian lagi" Ujar Dede menimpali.

Ical mengambil gawainya dari lengan Wahyu. Perlahan ia memainkan gawainya sambil terlihat membuka riwayat pencariannya di browser, lirikan matanya secara teliti melihat setiap nama web yang pernah ia buka. 

Hingga tak lama berselang ketukan jarinya membuka portal laman berita terkemuka. Wahyu dan Dede lantas mengambil gawai Ical dan kembali membaca informasi yang ada di dalamnya.

Wahyu dan Dede membaca dengan saksama dan dalam tempo yang agak lambat. Terlihat bahkan mulut Dede komat kamit seperti mbah dukun, dan tampak juga seperti tak ingin melewatkan setiap kata, koma, dan bahkan simbol lain yang terdapat pada artikel di laman berita itu. Sampai kemudian Wahyu mengembalikan gawai Ical dan seketika menyenderkan posisi duduknya pada kursi dengan lesu.

"Kenapa ya gini amat" Seru Dede gemas.

"Ya mau gimana lagi, saat negara lain rame-rame nutup akses dari dan menuju, di kita malah siap nerima" Ujar Ical sinis.

"Lha ini bahaya sih kalo nyampe sini"

"Bukan bahaya lagi, bisa ambyar sanegaraeun!"

"Kesel parah sih asli, apalagi pas ada pejabat yang bilang kita ini kebal, duh dikira gua turunan Kratos!" Seru Wahyu.

"Realitanya, pemahaman bangsa kita memang masih terjebak kaya yang dibilang salah satu sastrawan kondang "Bangsa kita masih terjebak pada pola pikir yang didominasi pemikiran mistik dan takhayul". Itu memang sebuah fakta, dan ironinya yang tadi bilang kita kebal kan orang kesehatan yang notabene kita tahu ilmuwan yang apa-apa secara ilmiah"

"Bener sih Cal, tapi ya udah lah, kita liat perkembangannya, mudah-mudahan kita beneran kebal" Gumam Dede.

Kala perbincangan seputar virus ditutup dengan tawa, Izal dan Heru datang sambil membawa sebuah kresek.

"Apaan tuh?" Tanya Wahyu.

"Ini mau buat temen nasi, sayur bayem"

Seketika Wahyu dan Dede saling bertatapan dan kemudian menoleh ke arah Ical.

Mereka berdua lantas berseru bersamaan "Mau, biar KEBAL!".  

To be continued!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun