Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Babad Ikhwan Mistis: Bertepuk Sebelah Rindu

12 Mei 2020   17:12 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/GoranH

Mengingat umur yang sudah tak lagi muda, belakangan ini para ikhwan mistis senior yang tergabung dalam KIMBERLI mulai sedikit berpikir tentang kehidupan setelah kuliah. Sebuah kehidupan yang masih menjadi misteri, apakah kehidupan akan sejalan dengan jurusan ketika mereka kuliah, ataukah kehidupan yang jauh daripada ini dan tidak mereka sangka sebelumnya.

Terlebih lagi, waktu mereka di kampus terhitung tinggal menyisakan beberapa bulan saja. Oleh karenanya pikiran akan kehidupan selanjutnya menjadi salah satu topik bahasan yang cukup sering diperbincangkan. Untuk urusan pekerjaan misalnya, banyak dari ikhwan mistis yang lebih memilih berusaha agar sesuai dengan jurusan kuliah, ada juga yang hendak demikian namun dengan sambil membuka usaha, malah ada juga yang pekerjaannya hendak murtad dari jurusan kuliah.

Di antara perbincangan yang ramai soal pekerjaan, ada satu lagi pokok bahasan primer yang selalu terselip, yaitu soal pendamping hidup. Para ikhwan mistis borjuis nampaknya selangkah lebih maju, mereka saat ini saja sudah memiliki dan digandrungi oleh banyak akhwat. Sehingga dengan begitu, persoalan tentang pendamping hidup setelah kuliah tidak menjadi persoalan pelik bagi mereka. Hanya saja, yang menjadi persoalan bagi mereka adalah memilih akhwat mana yang akan mereka fiksasi menjadi pendamping, maklum saja ikhwan borjuis banyak menyimpan cadangan dan alternatif pilihan.

Nasib nahas seperti diketahui merupakan sahabat karib para ikhwan mistis proletar. Berbicara tentang modal jelas mereka jauh tertinggal, baik itu dilihat dari modal sosial, modal budaya, modal simbolik, modal ekonomi, dan juga modal rupa. Mereka memiliki beban lebih berat dari ikhwan borjuis yang sebetulnya tinggal serius saja maka dapatlah fiksasi jodoh itu. Bagi ikhwan proletar tidak demikian, ada usaha lebih yang harus dilakukan, berkeringat, menembus debu jalanan, menangkis stereotip, dan menguatkan mental di hadapan calon mertua.

"Gua belum tau kalo urusan itu" Ujar Dede lesu

Ical mendengus pelan "Iya sih, kita masih perlu banyak usaha"

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini bro" Wahyu coba menyemangati kedua temannya

"Iya sih Yu, tapi jalannya kaya susah aja"

"Nah ini, gua juga takut sama prosesnya, pasti lama, pasti susah, pasti ada masalah disana sini" Kata Ical menyepakati Dede

"Yaelah kita coba dulu aja kali, belum tau kalo belum dicoba kan"

"Beda kalo yang udah punya inceran" Balas Ical ketus

Dahi Wahyu mengerut "Siapa? Gue?"

"Lah iya, kan kabarnya lu deket sama anak semester 3 kan"

"Iya ngaku aja lu Yu" Kata Ical sambil menepuk bahu Wahyu

Wahyu terdiam sesaat, ia berpikir keras, bagaimana mungkin hubungan dirinya dengan akhwat semester 3 bisa terendus oleh teman-temannya, padahal ia sudah merahasiakannya. Wahyu menatap kedua temannya "Tau darimana lu?"

"Nah kan, lu gausah tanya tau darimana, pokonya kita tau"

"Belum jadi bro, baru deket doang"

"Tapi lu mau jadiin kan?"

Wahyu tidak menjawab, mukanya tertunduk, lalu beberapa saat kemudian menyeruput kopi pesanannya. Ical dan Dede sudah tau gelagat temannya itu. Berselang dua menit kemudian, Bursh, Bale, dan Egi datang bersama.

"Ngapain pada lesu gini sih?"

"Kayanya urusan akhwat nih" Celetuk Bale

"Gimana-gimana ada yang bisa kita bantu" Ujar Egi dengan jumawa

Para ikwhan proletar tidak segera menjawab ocehan-ocehan mereka, namun sejurus kemudian sesuatu mengguncang Wahyu

"Gimana Yu sama akhwat semester 3 aman?"

Pikiran Wahyu dibuat kalut, hatinya tidak tenang, bagaimana bisa Bursh tau masalah ini. Biasanya akan menjadi sinyal bahaya jika para ikhwan borjuis sudah bisa mengendus persoalan asmara ikhwan proletar. Bisa-bisa kejadian perebutan lahan usaha akan terulang kembali.

Bursh tertawa kecil "Tenang bro, kita udah nggak kaya dulu lagi, aman Yu aman"

Wahyu mengembuskan nafas panjang "Syukurlah" Bisiknya dalam hati.

"Bener Yu, tenang, perjuangkan aja dia"

"Berjuang Yu!" Bale menyemangati.

Perbincangan kemudian berlanjut dengan inisiasi Bursh, Bale, dan Egi. Mereka berbicara tentang pengamanan akhwat agar tidak tergaet ikhwan lain. Perkataan mereka tentang optimisme, efektivitas, dan keberanian menjadi pengetahuan baru bagi Wahyu untuk segera bisa mengamankan posisi akhwat incarannya.

"Nah gitu Yu, utamakan keselamatan dan keseriusan, kita harus cakap dan tanggap di era ketidakpastian ini, karena segala sesuatu bisa terjadi, segala sesuatu juga tidak mudah diprediksi dan cepat berubah" Ujar Bursh.

"Jangan lupa dengan rumus (BANCET) yang merupakan singkatan dari berani dan cekatan, amalkan itu Yu" Bale menimpali.

Setelah percakapan yang cukup panjang, Bursh, Bale, dan Egi undur diri karena ada kegiatan bersama para akhwat incarannya, nampaknya mereka sudah mengagendakan triple date yang bagi Ical, Dede, dan Wahyu masih sebatas utopia belaka. Kopi yang sudah mengering dari gelas menjadi pertanda bubarnya perkumpulan hari itu, Ical pulang lebih dulu karena tiba-tiba saja sakit perut. Sementara itu Wahyu dan Dede berjalan pulang menyusuri jalan trotoar kampus.

Beberapa meter berjalan, Dede melihat hal yang mengejutkan di gerbang 2 kampusnya, Wahyu masih sibuk memainkan gawainya. Langkah demi langkah, pandangan Dede semakin jelas, ia tidak ragu dengan apa yang ia lihat. Dede berpikir untuk beberapa saat, ia tidak mudah sama sekali memutuskan, tetapi kebenaran harus dijunjung tinggi.

"Yu, liat itu!" Seru Dede

"Apaan?"

"Itu liat dulu di gerbang"

Wahyu kemudian memalingkan wajahnyanya menuju gerbang 2 kampusnya, raut wajah yang asalnya berbinar, perlahan lahan meredup, menguncup layu, langkahnya terhenti beberapa saat, dengan tatapan nanar Wahyu berkata "Nggak apa-apa De, gua sama dia kan memang belum ada apa-apa, hayu jalan terus"

Dede merasa bersalah memberi tahu ini, tetapi ini hanya soal waktu, lebih cepat tau lebih baik, karena akhwat yang dekat dengan Wahyu ini rupanya dekat juga dan seolah sudah menjadi milik orang lain yang rupanya seorang mahasiswa dari sekolah tinggi ikatan dinas.

Wahyu dan Dede tetap berjalan sementara di sisi lain melihat akhwat itu pergi dengan ikhwan lain menggunakan motor.

"Gak apa-apa De, inilah realitas hidup, apalagi di era ketidakpastian ini, intinya setalah usaha kita tidak boleh meninggalkan tawakal dan sabar juga sebagai prinsip hidup" Kata Wahyu.

"Iya Yu" Balas Dede pelan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun