Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wayang Golek Jangan Tergolek

16 Januari 2020   20:10 Diperbarui: 17 Januari 2020   19:21 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang golek, kesenian mahabudaya yang kini kian tergolek| Sumber foto: Flickr/P.L Tandon

Memasuki tahun 2020 perkembangan teknologi, ekonomi, dan industri makin tidak karuan. Beragam pembaharuan tercipta sedemikian cepat dan pesat. Fenomena ini tak heran membuat kondisi sosial dari manusia itu sendiri mengalami banyak perubahan.

Permasalahan yang misalnya terjadi dari perubahan psikologi sosial masyarakat terjadi pula pada aspek kebudayaan. 

Dalam konstruksi pemikiran modern sedikitnya perhatian terhadap kajian budaya mengalami beberapa perbuahan. Ada yang menjadi digemari ada pula yang menjadi terlupakan atau kurang diminati.

Contoh dari pergeseran yang kentara terhadap kajian kebudayaan adalah pada ketertarikan dan minat terhadap kesenian daerah, dan dalam kasus ini saya coba mengetengahkan pada seni wayang golek. 

Budayawan seperti Ajip Rosidi pernah mengatakan bahwa masa depan budaya daerah dewasa ini sedang berada dalam posisi diujung tanduk.

Kekhawatiran Ajip ini didasarkan kepada semakin hilangnya rasa kecintaan masyarakat terhadap budayanya. Sehingga tidak aneh ketika banyak budaya daerah yang pada akhirnya terkatung-katung dan bahkan sampai punah. 

Tentu percaya atau tidak fakta dari argumentasi tersebut misalnya kita bisa lihat dari redupnya apresiasi generasi muda terhadap wayang golek.

Asep Sunandar Sunarya yang disebut sebagai maestro dalang wayang golek pernah menyebutkan bahwa kesenian wayang golek bukanlah barang yang sembarangan. Ia menyebutkan kesenian wayang golek sebagai mahabudaya.

Asep Sunandar mengatakan wayang golek sebagai mahabudaya karena kesenian hampir mencakup beragam bidang dari bidang kesenian itu sendiri yaitu seni musik, tari, rupa, dan teater.

Sebagai suatu kesenian yang memadukan seluruh bidang seni, maka wayang golek dianggap sebagai seni yang kompleks dan mempunyai nilai yang luhur. 

Hal lain yang membuat predikat wayang golek sebagai mahabudaya adalah kontennya yang banyak mengedepankan pesan-pesan kebajikan kepada para penontonnya. 

Seperti yang kita ketahui isi lakon dari pementasan wayang golek selalu terselip pesan moral agar penontonnya mampu membedakan baik dan buruk. Wayang golek juga kerap menjadi media kritik terhadap pemerintah agar lebih adil dan baik dalam menjalankan kekuasaannya.

Wayang golek meskipun memiliki segudang nilai luhur dan adiluhung namun bukan berarti ia menjadi primadona terutama bagi generasi muda saat ini. Kebanyakan dari mereka kini teralihkan dengan ingar bingar terhadap kebudayaan lain. 

Baik jika kebudayaan itu banyak memberikan dampak positif, tetapi sepakat atau tidak generasi muda malah banyak terkontaminasi oleh budaya yang sifatnya destruktif.

Dalam pandangan saya, wayang golek sudah tidak lagi diminati oleh generasi muda. Wayang golek kini kondisinya tergolek. 

Banyak preseden negatif yang tersemat kepada kesenian wayang golek, mulai dari alurnya yang lambat, kuno, dan membosankan. Sedangkan generasi muda kini lebih suka terhadap sesuatu yang keren, gaul, dan instagramable.

Kondisi yang terjadi terhadap generasi muda ini tentu tidak semata-mata akibat globalisasi dan modernisasi. Hal ini bisa juga bersumber dari kurangnya upaya pendidikan terhadap generasi muda agar mencintai budaya daerahnya. 

Tak heran Ajip dalam bukunya "Masa Depan Budaya Daerah" mengkritisi habis-habisan institusi pendidikan karena gagal menciptakan generasi muda yang cinta budaya daerah.

Atas dasar itulah maka situasi tersebut berdampak pula kepada berkurangnya minat generasi muda terhadap kesenian daerah, khususnya wayang golek. 

Namun disisi lain, kurangnya minat generasi muda terhadap wayang golek bisa menjadi bahan otokritik dan refleksi bagi pegiat kesenian itu sendiri. 

Kejadian ini menjadi sebuah peringatan agar mereka juga bisa menyesuaikan diri dengan kondisi sosial masyarakat kekinian. Misalnya dengan penyesuaian konten yang kekinian ataupun cara penyampaian yang lebih luwes.

Hal ini senada dengan yang pernah dikatakan Asep Sunandar bahwa penggunaan pakem-pakem yang rigid dalam pementasan wayang golek perlu disesuaikan dengan konteksnya. 

Terutama apabila dihadapkan dengan generasi muda maka pakem atau "Tetekon" bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan, yang penting esensi dan substansi dari pesan yang hendak disampaikan tidak menjadi hilang.

Oleh sebab itu kiranya perlu ada usaha bersama yang sinergis agar wayang golek dan kesenian daerah lain bisa dapat dijaga eksistensinya bahkan dikembangkan. 

Pendidikan bertugas dalam aspek edukasi, pemerintah dalam aspek fasilitasi dan pegiat kesenian dalam aspek inovasi dan kreasi. Tentunya ini demi menjaga kebudayaan bangsa, karena terlalu mahal harganya jika kesenian mahabudaya seperti wayang golek harus punah.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun