Karya Rahman Arifin
Kampung Ciabot terletak di ujung desa, entah ada kaitannya dengan perjuangan untuk mendapatkan air yang begitu berat bagi penduduknya atau tidak. Untuk mendapatkan air untuk keperluan memasak, mencuci, dan keperluan lainnya kami penduduk kampung Ciabot harus mengambil jauh dilembah yang bernama Cikalong.
Pada waktu itu rata rata penduduk tidak mempunyai sumur pribadi apalagi air berlangganan PAM. Terpaksa meskipun letaknya jauh kami harus pulang pergi ke Cikalong untuk memenuhi kebutuhan air tersebut. Biasanya ibu ibu mengambil air menggunakan buyung atau ceret, bapak bapak biasanya menanggung air menggunakan rancatan yang diujung ujungnya digantung ember, langseng atau seeng, sementara anak anak biasanya menjinjing air menggunakan kompan atau ember kecil.
Perjalanan ke Cikalong dari kampung kami harus melalui kebun penduduk, hutan bambu dan hutan lebat kurang lebih jaraknya ada 3 km. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak yang lumayan curam. Ketika berangkat kami akan menuruni bukit dan sebaliknya kalau pulang kami akan menaiki bukit. Perjalanan yang lumayan melelahkan. Tapi itu semuanya harus kami jalani setiap hari.
Di Cikalong ada beberapa pancuran yang airnya ngagolontor dan sangat jernih. Saking jernihnya kami berani untuk meminumnya langsung. Dan rasanya begitu segar. Kalau menurut iklan salah satu merek air kemasan, "Ada manis-manisnya!"
Paling atas ada pancuran Aki Sukaedi dan ini merupakan pancuran faporit karena tempatnya bersih dan nyaman, kemudian pancuran Mang Trisno, pancuran Mang Maeji, Â pancuran Mang Een dan pancuran Bapa Bedi. Pancuran Aki Sukaedi, Mang Trisno dan Mang Een ada balongnya. Sementara pancuran Bapa Bedi dan pancuran Mang Maeji tidak ada balongnya. Balong balong tersebut biasanya ditanami ikan yang dipanen setiap lebaran.
Suasana di Cikalong mulai ramai mulai jam 5 pagi atau setelah subuh. Anak anak biasanya mandi sebelum mereka berangkat sekolah. Baju ganti seragam kebanggaan merah putih juga biasanya langsung dibawa ke Cikalong. Kalau anak anak sudah berangkat sekolah Ibu ibu mencuci baju, mandi dan mencuci perabotan. Nanti ramai lagi pas waktu dzuhur dan menjelang Ashar, setelah itu suasana di Cilakong akan sepi.
Di salah satu sumber mata air yaitu di pancuran Mang Trisno, tumbuh pohon besar menjulang tinggi dan dari sela sela akarnya keluar air yang sangat bening, mengalir tiada henti. Kami menyebutnya pohon Beurih. Kalau masanya berbunga, kami anak-anak biasanya berlomba menerbangkan bunga Beurih kering itu ke atas kemudian bunga itu akan turun bagaikan baling baling atau kami menyebutnya kolecer, semakin lama jatuhnya bunga itu maka yang punya bunga itu  akan dinyatakan sebagai pemenang. Dan kamipun akan tertawa riang menyambut bunga Beurih masing masing.
Kalau musim buah limus biasanya kami juga suka berburu buah limus atau mulungan buah limus. Buahnya bulat hijau kekuningan, berserat dan harum, ada yang manis tapi banyak juga yang asem. Kalau yang mentah biasanya kami rujak. Tapi kami harus hati hati jangan sampai terkena getahnya, kalau kena getah limus biasanya bibir kita akan kebakar memerah dan tentunya sakit, kami menyebutnya keulat buah limus.
Kebahagiaan kami yang lain adalah mencari kepiting, mencari berenyit atau impun dan mencari tutut dan remis di selokan. Kepiting biasanya akan kami berikan untuk bebek, kalau berenyit (ikan wader) biasanya kami pais atau pepes, tutut dan remis biasanya kami sop.
Selain keceriaan dan keriangan, bagi kami anak anak kecil sebenarnya ada ketakutan kalau pergi ke Cikalong. Apalagi kalau sore menjelang malam masih ada di Cikalong. Takut ada hantu atau jurig kunti, takut ada orang jahat, dan takut ada binatang buas dan berbahaya.
Satu hari Aku hampir kemalaman di Cikalong, orang orang sudah pada pulang tidak ada siapa siapa lagi, Ma Emeh yang terakhir di pancuran juga sudah pulang. Pada saat itu Aku kesorean dan tidak ada persediaan air di rumah. Meskipun agak agak takut, Aku memaksakan diri pergi ke Cikalong sendirian sambal membawa ember buat membawa persediaan air untuk malam hari. Aku mandi terus sholat ashar di Tajug yang berupa saung panggung terbuat dari kayu, bambu dan bilik (anyaman bambu). Ketika sedang sholat kedengaran sayup sayup suara anjing hutan menggonggong. Deg! Jantungku berdegup kencang. Sholat aku percepat, takut anjing mendekat.
Baru saja selesai salam, aku sangat kaget karena dibelakangku telah berdiri sesosok  tinggi besar, sambil menyeringai memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. Akupun menjerit ketakutan.
"Toloooooong!" jeritku.
Dalam pikiranku itu adalah jurig, hantu, kunti atau vampire yang diantar rombongan anjing hutan dengan lolongannya. Aku menangis takut sekali sambil menyembunyikan wajahku. Perasaanku itu hantu mau mencekikku, menyedot darahku atau memakanku bulat bulat. Hiiiiiii, ngeri sekali.
Sebisa-bisa aku membaca do'a agar dijauhkan dari gangguan jin hantu dan sebagainya. Tapi tetap benakku sudah dirasuki rasa takut yang berlebihan.
"Abah............, Emaaaaaak........, Â Dadan takuuuut."
"Ema........., Abah......., Kesini....., Dadan takuuuut."
Tangisku semakin kencang.
"Hantuuuuu! kesana kamu pergi jauh-jauh...."
"Jangan mendekat ke Saya! Jangan makan Saya!......." ujarku sambal terus menangis.
"Daan....., Dadan....., Kamu kenapa?"
"Ini Abah mau menjemput kamu."
" Bukaaaan! Bukan Abah, tapi hantuuuuu, hantu Cikalong!" teriakku semakin kencang.
"Hei Dadaaan..... coba lihat kesini lihat wajah Abah kesini!" Sahut Abah.
Sedikit demi sedikit sambil takut takut, Aku menengok ke arah sosok yang mengaku Abah, Kemudian Abah merangkulku, sambal mengusap usap rambutku.
"Daan, sengaja Abah menjemput kamu, karena waktu sudah sore, takut ada apa-apa." Kata Abah.
"Abaaah, dikirateh  hantu Cikalong! Jadi Dadan ketakutan."
"Hahah..., ternyata kamu masih penakut, disangka  Abah, kamu  benar benar pemberani." Kata Abah menimpali.
"Dan, hantu itu dibuat dan diciptakan oleh pikiran kita. Hayu kita pulang, sebentar lagi magrib akan tiba." Kata Abah sambal menuntunku.
Tigapuluh tahun kemudian Cikalong sepi, tidak ada lagi keramaian seperti dulu. Tidak ada lagi keceriaan anak-anak mandi bersama sambal main air, tidak ada lagi keceriaan anak-anak berburu buah limus dan menangkap kepiting. Yang tersisa hanya suara desiran angin dan daun daunan yang kadang ditimpali suara suara anjing, burung dan suara-suara alam lainnya.
Pancuran dan balong semuanya sudah hilang, sudah tidak ada yang mengurusnya. Yang punya pancuran sudah pada meninggal. Anak-anaknya tidak ada yang meneruskan mengurus pancuran di Cikalong. Sebagian pergi merantau ke kota, ada yang sukses dan kaya di kota ada juga yang menjadi buruh pabrik di kota-kota besar. Yang ada di kampungpun sekarang jarang yang pergi ke Cikalong, sebab air yang dibutuhkan sudah dikirim melalui pipa-pipa paralon dari Perusahaan air minum. Tinggal memutar kran, air sudah mengocor mengisi bak-bak yang hampir semuanya ada di rumah masing masing.
Terkadang aku sedih mengingat masa-masa kecil dulu, masa ketika masih ada Abah dan Ema yang selalu mengasihi dan mencintaiku. Kangen bertemu dengan teman-teman kecilku. Ingin rasanya napak tilas ke kampungku Ciabot dan ke Cikalong dan mereka semua ada.
Dimuat dalam Antologi Cerita Pendek Mencekam, Oase Pustaka, Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H