"Daan....., Dadan....., Kamu kenapa?"
"Ini Abah mau menjemput kamu."
" Bukaaaan! Bukan Abah, tapi hantuuuuu, hantu Cikalong!" teriakku semakin kencang.
"Hei Dadaaan..... coba lihat kesini lihat wajah Abah kesini!" Sahut Abah.
Sedikit demi sedikit sambil takut takut, Aku menengok ke arah sosok yang mengaku Abah, Kemudian Abah merangkulku, sambal mengusap usap rambutku.
"Daan, sengaja Abah menjemput kamu, karena waktu sudah sore, takut ada apa-apa." Kata Abah.
"Abaaah, dikirateh  hantu Cikalong! Jadi Dadan ketakutan."
"Hahah..., ternyata kamu masih penakut, disangka  Abah, kamu  benar benar pemberani." Kata Abah menimpali.
"Dan, hantu itu dibuat dan diciptakan oleh pikiran kita. Hayu kita pulang, sebentar lagi magrib akan tiba." Kata Abah sambal menuntunku.
Tigapuluh tahun kemudian Cikalong sepi, tidak ada lagi keramaian seperti dulu. Tidak ada lagi keceriaan anak-anak mandi bersama sambal main air, tidak ada lagi keceriaan anak-anak berburu buah limus dan menangkap kepiting. Yang tersisa hanya suara desiran angin dan daun daunan yang kadang ditimpali suara suara anjing, burung dan suara-suara alam lainnya.
Pancuran dan balong semuanya sudah hilang, sudah tidak ada yang mengurusnya. Yang punya pancuran sudah pada meninggal. Anak-anaknya tidak ada yang meneruskan mengurus pancuran di Cikalong. Sebagian pergi merantau ke kota, ada yang sukses dan kaya di kota ada juga yang menjadi buruh pabrik di kota-kota besar. Yang ada di kampungpun sekarang jarang yang pergi ke Cikalong, sebab air yang dibutuhkan sudah dikirim melalui pipa-pipa paralon dari Perusahaan air minum. Tinggal memutar kran, air sudah mengocor mengisi bak-bak yang hampir semuanya ada di rumah masing masing.