"Mama, tante Ella mau bicara sama dia." Dia menatapku tapi aku tak menatapnya. Manusia hina tidak pantas ditatap.
Mereka keluar. Ada sekitar lima menit kami saling diam. Bercakap pada pikiran masing-masing. Aku masih setia menatap jendela. Dan dia memandangku sejak tadi.Â
"Dari pada menatap jendela lebih baik kamu bercermin. Apa kau tidak berkaca? Kau tidak pantas mendapatkanya. Tidak akan  ada orang percaya kalau yang kau tulis itu hasil karyamu. Hahaha... kasihan betul aku lihat kau semua orang mempertanyakan apakah itu  benar-benar karyamu".  Dia tertawa seperti setan.Â
Kalian bilang aku tidak tahu diri? Bukankah yang tidak tahu diri itu kalian! Siapa yang lebih senang bersolek? Dasar manusia hanya bisa memoles wajah tapi tidak bisa memoles sikap.Â
"Terima saja uang itu gunakan untuk mengubah wajahmu yang jelek itu." Perempuan itu pergi. Dan dia merasa seakan-akan sudah menang.Â
***
Di dunia ini manusia memiliki impian. Ada yang berjuang mewujudkannya. Ada yang menyerah di tengah jalan. Ada yang kenyataan dan impiannya sedang berjalan. Impian tidak akan terwujud tanpa tekad dan kerja keras. Kini aku sedang memperjuangkan impian. Tapi aku rasa aku tidak mampu. Apa yang pantas didapat dari seseorang yang mencuri karyamu? Membayar dengan uang? Menutupi kebohongan? Dikhianati keluarga dan teman dekat? Begitu hinanya manusia semua masalah selesai dengan uang. Sungguh pengecut dan pecundangnya manusia itu.Â
***
"Sudah ku bilang itu semua karyaku! Mengapa kalian tidak mengerti!" dengan keberanian aku mengatakannya di depan semua orang. Di depan dia, kamu, mereka, dan kalian para penghianat.
"Dasar perempuan tidak tahu diri!" perempuan uang itu berkata.
"Aku punya buktinya! Aku selalu menuliskan semua ideku di buku tulis dan aku selalu meminta saran dari temanku." Aku membela dir.
"Eh... teman kamu itu tidak mengakuinya!" mama meneriakiku.
"Mengapa kalian tidak membantuku?" tanyaku pada kedua temanku.