Mohon tunggu...
Rahmah Athaillah
Rahmah Athaillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Literasi

Al Faqiir ilaa 'Afwi Rabbi Dari seseorang yang tengah belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Heningnya Asa

17 April 2023   11:50 Diperbarui: 17 April 2023   11:50 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

-Manusia Itu Tertidur dan Ketika Maut, Mereka Terbangun-

Hiruk pikuk terdengar riuh di berbagai penjuru, para khalifah bumi berlalu lalang tanpa kenal lelah meski peluh memenuhi wajah yang terlihat letih. Ka'bah berdiri kokoh diantara bangunan lain yang mengelilinginya, penuh sesak oleh jutaan hamba Allah yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Sesekali, Fizah mengusap matanya yang terlihat sembab. Ini bukan pertama kalinya, ia menginjakkan kakiknya di tanah haram ini. Namun, perasaan yang menggugah hatinya baru ia rasakan saat ini. Wajahnya terlihat sedu, saat ia kembali menuju tempat yang dirindukan oleh fitrahnya.

:::::

Malam semakin larut, namun Fizah masih disibukkan oleh beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan saat itu. Ia masih menatap fokus layar komputer di hadapannya. Fizah bukan gadis sembarang seperti kalangan remaja lainnya. Disamping menempuh pendidikan S1-nya, Fizah juga membuka cafe untuk membantu memenuhi biaya hidupnya. Ia memang bukan terlahir dari keluarga konglomerat, ayah dan ibunya hanyalah seorang guru antar desa yang hanya dibayar dengan uang keikhlasan. Namun, berkat kegigihan dan usahanya ia mampu meraih apa yang ia inginkan. Kini, cafe yang ia dirikan diminati oleh banyak pelanggan dari berbagai golongan.

Pintu terbuka perlahan, gadis remaja masuk ke dalam kantornya. Setumpuk berkas tampak dalam dekapannya yang erat. Fizah segera membenahi kerudung yang ia kenakan.

"Mbak belum pulang?" tanya gadis itu lembut, sembari ia menaruh setumpuk berkas yang dibawanya ke atas meja Fizah.

Fizah tersenyum kecil, menggeleng. "Setelah selesai, aku akan pulang," sahutnya singkat.

"Tapi, mbak sudah sholat kan?" tanya Hawa.

Fizah melirik kearahnya dengan tajam, "Tenang, nanti juga aku kerjakan," jawabnya enteng.

"Sholat dulu Mbak, biar dimudahkan pekerjaannya."

"Tanggung, bentar lagi kok."

Hawa hanya tersenyum kecil, ia sudah hafal jika bos mudanya ini tidak akan suka diganggu jika sudah dihadapkan dengan pekerjannya.

Bersahabat dengan hawa malam, sudah menjadi kebiasaan Fizah sehari-hari. Berkuliah sembari bekerja bukan suatu hal yang mudah. Namun, Fizah menjadikan kesibukannya sebagai hobi dalam hidupnya. Ia mencintai pendidikan juga pekerjaan. Bahkan, meski dirinya harus jatuh bangun untuk melalui berbagai tantangan yang ada dalam hidupnya.

:::::

Prestasi, harta bahkan jabatan sudah ia raih diusianya yang masih belia. Disamping itu, ia juga tidak segan menyumbangkan sebagian hartanya untuk orang-orang yang lebih membutuhkan, keluar negeri bahkan untuk umroh sekalipun sudah ia lakukan berkali-kali. Ia juga dikenal ramah, ditambah parasnya yang cantik dalam balutan hijabnya yang selalu ia kenakan.

Suatu hari, Fizah dikabarkan sakit. Asistant pribadinya segera mengambil alih untuk mengurusi cafe-nya yang sedang berkembang pesat. Tidak lupa ia juga mengabari orang tua Fizah akan keadaanya yang sedang jatuh sakit.

Mata Fizah terlihat sayu, tatapannya kosong. Ia terlihat begitu kelelahan. Ayah dan Ibunya datang dengan tergopoh-gopoh, dengan perasaan terkejut melihat anaknya yang terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit.

"Jangan terlalu lelah bekerja, nak.." Ibunya membelai kepala Fizah dengan lembut.

Fizah menggeleng, berusaha mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Karena, memang inilah yang menjadi hobi dalam hidupnya. "Semua ini hobi Fizah bu, Fizah menjalankannya dengan enjoy."

"Tapi, kamu juga harus ingat akan kesehatan kamu nak.."

"Fizah baik-baik saja bu. Namun, entah mengapa kadang kala hati Fizah terasa hampa." ujarnya dengan pelan.

Ayah mendekat, membelai lembut anak yang kini makin beranjak dewasa.

"Fizah, bahkan di umurmu yang semakin dewasa ini, kamu belum bisa memaknai hidupmu secara utuh, nak. Itu yang ayah takutkan, mengapa ayah selalu memintamu untuk pulang," ujar Ayah. "Kamu merasa bahwa kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu merasa bahwa kamu telah melakukan segalanya. Namun, hatimu akan terus hampa hingga saat ini, karena kamu belum bergerak bersama jiwamu Fizah. Kamu melakukan segalanya dengan nafsu, kamu belajar dengan nafsu, kamu bekerja dengan nafsu, kehidupanmu selalu dipenuhi dengan nafsumu yang tidak akan pernah puas. Meski, dirimu mengatakan kamu akan enjoy dengan segala yang kamu kerjakan, ini hanyalah nafsu belaka nak.. jiwa belum bergerak. Kamu tidak melakukannya karena Allah."

Air mata Fizah meleleh perlahan, nasihat yang dilontarkan oleh ayahnya benar. Sejak kecil, ayah memang tidak pernah meminta hal yang muluk-muluk kepada anak-anaknya. Ayah hanya meminta, agar anak-anaknya melakukan segala perbuatannya dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang damai.

"Ayah, maafkan Fizah. Fizah terlalu menyibukkan diri. Hingga lupa, jika batin Fizah tak pernah terurusi."

Ayah mendekap Fizah dengan hangat, "Bukankah sebelum Fizah merantau, ayah pernah berpesan bahwa manusia selama hidupnya seolah-olah dalam keadaan mati. Sedangkan, disaat ia meinggal ia baru terbangun. Maka, Fizah tidak boleh terlena dengan kehidupan yang Fizah miliki. Kehidupan dunia ini hanyalah fatamorgana, Fizah."

Fizah mengangguk, ia semakin terisak. Dirinya menyesal karena tidak pernah mengindahkan nasihat yang diberikan oleh ayahnya. Fizah memang seorang muslimah, wajahnya terbalut dalam balutan jilbab, ia juga melaksanakan sholat sebagaimana umat muslim pada umumnya. Namun, hatinya belum sepenuhnya islam, karena nafsu dalam dirinya lebih mendominasi daripada jiwa fitrahnya.

Perlahan, Fizah mulai menata hidupnya kembali. Ia mendengarkan dan selalu menerapkan akan nasihat baik yang diberikan oleh orang tuanya juga orang terdekatnya.

Beberapa hari kemudian, entah mengapa ia merindukan tempat mulia bagi umat islam. Kerinduannya semakin membuncah, sehingga ia segera terbang menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah umrah.

Namun, ada hal yang berbeda kali ini. Ia telah hijrah untuk menjadi muslimah yang lebih baik. Tetap sama dalam balutan jilbab, ataupun dalam naungan islam. Namun, kali ini dengan hati dan jiwa yang lebih berdamai, yang menyatu kembali dengan fitrah hakikinya.

Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun