Penumpang tampak panik, Bu Ima dengan cepat langsung mengambil keputusan yang membuatku semakin terheran-heran. "Kalian anak muda, seharusnya belajar. Bukan untuk menyakiti masyarakat lain!" ujar Bu Ima ditengah kepanikan penumpang.
      Salah satu anak, mendatangi Bu Ima dengan penuh kegeraman, menatap sebentar, "Lu tahu apa sih nek?" ujarnya sambil memukul Bu Ima keras.
      Hanya dalam hitungan detik, Bu Ima roboh, bis dihentikan dan anak muda itu kabur. Aku menjerit, Bu Ima dikerumuni banyak orang. Darah mengalir derasdari pelipisnya. aku mencoba menhubungi Ifah dan Rani serta teman-teman yang lainnya. Bu Ima dibopong menuju rumah sakit terdekat.
      Ifah, Rani dan beberapa teman-teman yang lain dating tak lama kemudian. Ifah menyuruhku pergi dan ia berjanji akan mengurusi Bu Ima. Dengan diantar beberapa temanku aku berangkat menuju tempat yang kumaksud, tepat namaku disebut sebagai pemenang lomba essay tahun ini. Dengan rasa gemetar dan gugup, serta bercakan darah segar dikerudungku aku maju ke panggung kehormatan. Menerima hadiah dan piala, serta hadiah lainnya.
      "Saya mempersembahkan ini untuk guru saya, bagaimana pun seorang guru itu wajib digugu dan ditiru sepanjang masa. Teruntuk Bu Ima saya mengucapkan terima kasih banyak dan semoga Ibu mendapat hidayah di alam kubur sana," dengan berusaha menenangkan diri aku mencoba menceritakan kejadian yang kualami dalam pembuatan essay.
      Tepuk tangan terdengar riuh, usai kuberikan sedikit sambutan. Dengan penuh khawatir dan perasaan penyesal aku kembali mengunjungi Bu Ima. Terima kasih guruku, pahlawan yang patut untuk digugu dan ditiru.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H